Oleh IGK Manila
Sebagai orang Bali, meskipun tidak tinggal di Bali, saya bagaimana pun harus berterima kasih kepada Pak Gubernur dan Wakil Gubenur. Empat tahun kepemimpinan beliau berdua telah memungkinkan Bali, sebagaimana Indonesia secara keseluruhan,
menempuh berbagai tantangan yang tak mudah.
Pandemi, yang meluluhlantakkan perekonomian dan
berdampak pada sektor-sektor lain sejak akhir 2019, sekitar satu tahun setelah suksesi kepemimpinan Bali, adalah tantangan terberat. Pariwisata yang menjadi salah satu andalan utama pendapatan daerah ambruk.
Berbagai lapisan masyarakat yang menyandarkan hidup pada pariwisata kehilangan mata pencarian. Jika tanpa kepemimpinan dan kebijakan nasional yang tepat, dan tentu saja kepemimpinan dan kebijakan daerah yang responsif, Bali akan mengalami tsunami ekonomi yang tak mudah diselesaikan.
Beruntunglah rakyat Bali, bahwa dalam situasi yang sulit terdapat pemimpin yang secara kapabilitas tak perlu diragukan lagi, insinyur yang paham pekerjaannya dari hulu sampai hilir.
Secara makro, misalnya, masa kontraksi di tahun-tahun pandemi telah lewat. Berkat peningkatan kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara, sebagai salah satu faktor penyumbang utama, pertumbuhan mencapai 1,46 persen pada Triwulan 1
dan meningkat mencapai 3,04 persen pada Triwulan 2.
Diprediksi, jika pertumbuhan berjalan konstan, akan dicapai pertumbuhan 4 persen di akhir 2022. Data BPS Maret 2022 juga menunjukkan tingkat kemiskinan di Bali sebesar 4,57 persen, ketika rata-rata nasional mencapai 9,54 persen. Demikian pula, tingkat pengangguran yang sebesar 4,84 persen berada di bawah rata-rata nasional yang mencapai 5,83 persen.
Juga menarik ketika Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Bali mencapai 75,69 yang berarti berada di atas rata-rata nasional sebesar 72,29.
“Sustainability”
Sambil secara positif menyikapi pertumbuhan ekonomi makro dan juga sektor lainnya, kepemimpinan dan rakyat Bali tentu tak boleh merasa puas. Kemiskinan dan pengangguran, misalnya, tetaplah dua persoalan yang harus diselesaikan. Apalagi jika mengingat bahwa angka-angka statistik di atas hanyalah representasi makro dan memiliki kemungkinan ada yang luput atau tak masuk hitungan.
Oleh karena itu, dalam sisa satu tahun masa kepemimpinan, dan lima tahun berikutnya—jika berniat dan terpilih lagi untuk periode kedua—visi pembangunan kedua pemimpin haruslah lebih jauh lagi.
Saya ingin menyebutnya sebagai sustainability, istilah populer yang dalam konteks ini saya acu untuk dua hal. Pertama, pertumbuhan ekonomi dan keberhasilan dalam sektor-sektor lain adalah modal dasar. Namun, sebagaimana umumnya pertumbuhan ekonomi dalam model yang bagaimanapun juga kapitalistik, yang
bertumpu hanya pada angka-angka makro dan sektor-sektor bermodal besar dengan para pemain besar, tak menjamin keberlanjutan yang ajeg.
Pembangunan ekonomi, oleh karena itu, harus dibuat lebih inklusif, yakni memastikan bahwa masyarakat banyak dibuat lebih berdaya lagi sehingga ikut menjadi pelaku ekonomi yang berpengaruh. Masa pandemi telah mengajarkan kita, misalnya, bahwa
usaha kecil, mikro dan menengah telah berperan besar.
Modal Bali dalam hal ini sudah besar, yakni peran yang telah dimainkan selama ini dalam industri pariwisata. Produk-produk dan pengelolaan tujuan wisata berasal telah melibatkan ragam kelompok masyarakat, dan bahkan secara aktif melibatkan lembaga pemerintahan desa dan sebagainya.
Bentuk ideal yang dicita-citakan dalam pembangunan ini ini, menurut saya, harus seperti candi atau piramida, besar dan kokoh ke bawah dan mengerucut ke atas. Bukan sebaliknya, seperti piramida terbalik, yang besar di atas namun mengecil ke bawah. Bangunan ekonomi piramida akan sustainable, berkelanjutan.
Kedua, konsep sustainability dalam makna yang juga umum dikenal, yaitu pembangunan yang ramah alam. Upaya membebaskan Bali dari sampah plastik—meskipun di mana-mana kita masih menemukan sampah plastik yang berserakan, termasuk di banyak pantai—bagaimanapun juga harus diacungkan jempol.
Namun pembangunan ramah alam lebih besar dari itu. Konsep Bali yang bersandar pada ajaran Hindu tentang harmoni manusia dan alam harus diterjemahkan lebih jauh dan konsisten. Misalnya, ekuilibrasi atau penyeimbangan antara bangunan—termasuk jalan raya dan lahan terbuka yang
menyumbang emisi lainnya—dengan lahan olahan dan lahan hijau, berupa hutanisasi atau penghijauan.
Sebab harmoni alam ini adalah paru-paru dalam kultur Bali, yang memungkinkan kelahiran budaya dan peradaban Bali, dan telah melahirkan daya tarik pariwisata yang berandil besar bagi nafas ekonomi Bali.
Dumogi labda karya sida sidaning don!