I Wayan Sastra Gunada, S.Pd. (BP/Istimewa)

Oleh I Wayan Sastra Gunada, S.Pd.

Pendidikan selalu menjadi sorotan dan bidang penting untuk dibicarakan. Hal ini tidak lepas dari peran pendidikan dalam membentuk Sumber Daya Manusia (SDM) planet bumi. Kualitas SDM berbanding lurus dengan kualitas pendidikan yang diperolehnya.

Semakin baik kualitas pendidikan yang diperolehnya, maka kualitas SDM-nya semakin baik. Begitupula sebaliknya, pendidikan yang kurang berkualitas akan menghasilkan SDM yang kurang berkualitas pula. Jadi, tidak mengherankan bila pendidikan selalu dan terus menjadi topik yang menarik untuk dibahas.

Dunia pendidikan identik dengan istilah belajar dan mengajar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), belajar berarti berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Sejumlah ahli mendefinisikan belajar sebagai proses perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang kemudian menimbulkan perubahan yang bersifat permanen pada individu pelajar.

Sementara itu, istilah mengajar menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses memanusiakan manusia, sehingga manusia merdeka dari segala aspek kehidupan baik secara fisik, mental, jasmani, dan rohani. Lalu, apakah pendidikan kita di Indonesia sudah memerdekakan atau justru memenjarakan?

Baca juga:  Ribuan Siswa SD dan SMP di Sidemen Terima Kartu Karangasem Cerdas

Sebelum akhirnya disadari, dengan dikeluarkannya kebijakan RPP 1 lembar, bertahun-tahun dunia pendidikan kita terjebak dalam urusan administrasi yang kurang efisien. Guru-guru “dipaksa” untuk mengerjakan administrasi, seperti Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang cenderung berorientasi pada kuantitas alih-alih fokus pada komponen-komponen yang esensial.

Kondisi buruk ini menyebabkan ruang-ruang kelas tidak lebih baik dari neraka. Ruang kelas menjadi layaknya “penjara” yang amat membosankan.

Bagaimana tidak? Di saat teknologi sudah berkembang pesat, tidak sulit untuk menemukan pembelajaran yang masih menggunakan buku sebagai satu-satunya referensi, pembelajaran yang didominasi kegiatan menghapal, dan pembelajaran yang terjebak tembok ruang kelas. Inilah dampak nyata dari “terjebaknya” para guru pada persiapan-persiapan yang kurang substansial.

Sebenarnya manusia seperti apa yang diperlukan oleh dunia saat ini? Saat ini kita berada pada masa dimana Iptek berkembang sangat dashyat. Bahkan, dunia sudah masuk pada revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan peralihan tenaga manusia dengan robot berkecerdasan buatan (Artificial Intelligence).

Baca juga:  CHSE, Sapta Pesona Wisata dengan Wajah Baru

Kondisi ini memerlukan SDM yang mampu berpikir kritis dan kreatif, berkomunikasi dan berkolaborasi secara efektif, dan memiliki literasi informasi dan teknologi. Kemampuan berpikir kritis dan kreatif mendorong manusia untuk terus bertanya, melakukan riset, dan terobosan-terobosan untuk hidup dan
kehidupan yang berkelanjutan.

Saat ini istilah inovasi sudah sangat lumrah kita dengar. Secara sederhana, inovasi dapat diartikan sebagai pembaharuan. Segala hal tidak dapat menghindar dari pembaharuan, termasuk belajar.

Belajar tidak lagi hanya dengan para guru di sekolah tetapi bisa dengan ibu-ibu rumah tangga, para gamers, melalui YouTube. Kondisi inilah yang sesungguhnya merupakan potret dari kemerdekaan dalam belajar.

Seolah tak mau ketinggalan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi juga telah melakukan sejumlah inovasi untuk optimalisasi teknologi untuk pembelajaran. Inovasi-inovasi tersebut terwujud dalam sejumlah platform, seperti Rumah Belajar, Guru Belajar dan Berbagi, Radio Edukasi, TV Edukasi, dan yang teranyar adalah Merdeka Mengajar untuk mendukung peserta didik dan pendidik belajar secara fleksibel.

Baca juga:  Mensinergikan Merdeka Belajar

Pertanyaannya, mau dan pahamkah pendidik untuk memotivasi dan mengintegrasikan platform tersebut dalam pembelajarannya bersama peserta didik? Yang pasti, pendidik harus berupaya untuk terus belajar sebelum membelajarkan peserta didik agar proses pembelajaran dapat berlangsung efektif dan efisien.

Dengan dukungan teknologi, apakah merdeka belajar nyaris tanpa tantangan? Mudah dan “murahnya” akses internet saat ini memungkinkan semua orang untuk menjadi pembuat konten (content creator).

Tentu saja ini berdampak pada kualitas produk yang variatif tergantung dari latar belakang creator-nya. Produk akan berkualitas baik bila dihasilkan oleh creator yang ahli di bidangnya. Sebaliknya, bila dibuat
oleh orang yang kurang ahli, maka produk yang dihasilkan juga cenderung kurang baik.

Tidak terbatas untuk siswa, (program) merdeka belajar juga untuk guru, dan orangtua. Tantangan
pendidik dan orangtua adalah membimbing dan
memotivasi peserta didik untuk menghadapi
tantangan yang ada.

Penulis, Guru Bahasa Inggris di SMP Negeri Satu Atap 2 Batukandik

BAGIKAN