Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Berita buruk kemacetan lalu lintas di kawasan Canggu, Seminyak, maupun Kuta Bali menjadi publikasi kurang baik bagi wisatawan yang akan berkunjung ke Bali. Sempitnya infrastruktur jalan menjadi kambing hitam biang terjadinya kemacetan tersebut.

Juga ditengarai adanya objek wisata yang sedang viral, sehingga mendadak menjadi tujuan para wisatawan. Pada masa situasi periwisata normal sebelum pandemi, kemacetan lalu lintas di Bali juga sering terjadi. Pada saat itu hampir 17 juta wisatawan datang ke Bali, hingga kemacetan banyak terjadi di kawasan objek wisata favorit wisatawan. Akibatnya wisatawan banyak mengeluhkan mobilitas wisata mereka yang tidak nyaman saat di Pulau Bali.

Kemacetan yang terjadi tersebut sebenarnya lebih dipicu oleh tidak tersedianya sarana transportasi publik massal yang nyaman bagi wisatawan. Sehingga setiap wisatawan menggunakan sarana transportasi privat/pribadi, atau semi privat/kendaraan sewa. Akibatnya jumlah kendaraan membludak tidak sesuai dengan ketersediaan infrastruktur jalan yang ada. Kesepakatan bersama (MOU) Gubernur Koster dengan Intelligent Transport System (ITS) Indonesia dalam pengembangan sistem transportasi cerdas (Bali Post, 15/08/2022), merupakan awalan yang baik guna membenahi tatanan sistem transportasi Bali. Melalui kesepakatan ini diharapkan akan tercipta ekosistem transportasi yang terkoneksi, terintegrasi dan berkelanjutan melalui sistem transportasi cerdas.

Baca juga:  Politik Kasih Sayang

Namun sebenarnya yang perlu dibenahi secara jangka panjang adalah penataan sistem transportasi yang terintegrasi antara transportasi privat dengan sistem transportasi publik di Bali. Kehadiran sistem transportasi publik yang handal akan mengurangi penggunaan sarana transportasi privat. Pada kelanjutannya kemacetan di jalan raya akan semakin dapat direduksi. Beroperasinya bus Trans Metro Dewata sudah merupakan awalan yang baik untuk menyediakan sarana transportasi publik yang nyaman, utamanya bagi wisatawan. Kehadiran bus ini sudah seharusnya diikuti dengan moda transportasi publik yang lain. Sehingga dapat memacu wisatawan/masyarakat beralih menggunakan transportasi publik agar kemacetan dapat direduksi.

Baca juga:  Tumpek Pangatag, ”Atag” Umat Tanam Pohon

Sementara penataan infrastruktur jalan lebih merupakan pengatasan sistem transportasi dalam jangka pendek. Karena berapapun panjang infrastruktur jalan yang dibangun, hanya akan mengatasi kemacetan lalu lintas transportasi privat yang terjadi saat ini. Pada gilirannya justru dapat memicu minat masyarakat menambah kepemilikan kendaraan pribadinya. Sudah saatnya Bali lebih membenahi sistem transportasi publik yang ada. Utamanya memperbanyak moda transportasi publik massal yang nyaman, aman, dan murah. Di semua destinasi wisata berkelas dunia, sudah terbukti bahwa moda transportasi publik massal terintegrasi menjadi andalan bagi para wisatawannya.

Integrasi aneka moda transportasi merupakan kunci membenahi tatanan sistem transportasi di Bali. Keterbatasan angkutan publik massal di Bali memengaruhi penggunaan sarana transportasi sewa/semi privat oleh para wisatawan. Kondisi ini justru semakin memicu timbulnya kemacetan di jalan raya. Kita bisa berkaca dari penataan sistem transportasi Jakarta. Diawali dengan pengoperasian bus TransJakarta, yang melengkapi transportasi massal KRL (Kereta Rel Listrik/KAI Commuter) dan Raillink (Kereta Bandara), berlanjut dengan MRT (Mass Rapid Transit/Moda Raya Terpadu), serta LRT (Light Rail Transit/Lintas Raya Terpadu). Hingga melahirkan Jak-Lingko sebagai sistem transportasi publik yang terintegrasi dalam rute dan tarif.

Baca juga:  Tiga Kendaraan Jatuh di Jalan Putus Belum Dievakuasi

Kehadiran moda transportasi publik massal berbasis rel di Bali dipastikan tidak hanya akan mengatasi kemacetan di jalan raya akibat mobilitas wisatawan dan warga. Namun juga akan memperlancar aliran logistik ke seluruh wilayah Bali. Moda transportasi berbasis rel di Indonesia awalnya juga merupakan sarana angkutan barang produk dari perkebunan ke pasar.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN