DENPASAR, BALIPOST.com – Eksploitasi tata ruang Bali sebagai dampak masifnya pembangunan gedung untuk berbagai kepentingan telah menghancurkan
rumah hujan yang dimiliki Bali. Rumah hujan yang dimaksud adalah hutan, daerah aliran sungai, areal terbuka, serta ruang terbuka hijau. Demikian disampaikan Pengamat Lingkungan, Dr. Made Sudarma, M.S., Senin (10/10).
Ia mencontohkan cuaca ekstrem dan hujan lebat yang melanda 7 kabupaten/kota di Bali pada Sabtu (8/10), menyebabkan banjir. Bencana ini disebutnya karena tingginya intensitas air tak didukung oleh rumah hujan (tempat penampungan air hujan), sepertu hutan, DAS, areal terbuka, RTH, dan lainnya yang memadai.
Dikatakan, bahwa rumah hujan sudah banyak yang robek akibat berbagai penggunaan. Seperti, untuk bangunan, infrastruktur jalan, aspalnisasi, pavingnisasi, dan lainnya. Sehingga, tidak cukup mampu untuk menampung air saat musim hujan.
Kondisi ini, lanjut Sudarma diperburuk lagi oleh jalannya air (saluran drainage, selokan, sungai, dan lainnya) yang banyak dialihfungsikan untuk tugas lain. Seperti untuk pembuangan sampah, bangunan dan fungsi lainnya yang menyebabkan saluran air semakin menyempit dan bahkan buntu.
Hal ini menyebabkan air kehilangan rumah, dan air kehilangan jalannya. Sehingga, tidak punya cara untuk menuju ke laut saat rumah dan jalannya “diperkosa,” yaitu melewati jalan raya atau melalui permukiman. “Solusinya adalah kembalikan hak asasi air. Air sangat ramah dan akan memberikan kehidupan bagi umat manusia apabila hak-hak asasinya dihormati,” tegas akademisi Unud ini.
Made Sudarma pun mempertanyakan apakah dalam penyusunan tata ruang sudah berbasiskan DAS dan adakah kajian internalisasi DAS sudah diadopsi dalam penyusunan rencana tata ruang? “Kalau belum, sudah saatnya itu menjadi pertimbangan, sehingga kita tidak selalu disibukkan oleh masalah banjir dan juga sampah,” tandasnya. (Winatha/balipost)