DENPASAR, BALIPOST. com – Koordinator Lembaga Pemberdayaan Lembaga Perkreditan Desa (LPLPD) Kota Denpasar, I Putu Suyatna, Selasa (11/10) dihadirkan sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi LPD Serangan. Duduk sebagai terdakwa Kepala LPD Desa Adat Serangan I Wayan Jendra dan Tata Usaha LPD Desa Adat Serangan Tahun 2015 sampai dengan tahun 2020, Ni Wayan Sunita Yanti selaku tata usaha.
Suyatna saat memberikan keterangan cukup lancar, dibandingkan saksi Kasi Pembinaan LPD Se-Bali, I Gusti Agung Putra. Suyatna di hadapan majelis hakim pimpinan Gede Putra Astawa menyatakan, bahwa setelah dilakukan pengecekan dia mendapatkan data ada kredit macet hingga Rp 3,8 miliar, dan juga ada deposito fiktif Rp 2 miliar yang didapat dari keterangan tim penyelamat LPD Serangan.
Oleh JPU dari Kejari Denpasar, Suyatnya awalnya ditanya soal dasar hukum pengangkatan dan SOP. Saksi selaku Koordinator LPLPD Kota Denpasar diangkat berdasarkan
SK Gubernur Bali. Kemudian dia bertugas salah satunya melakukan pembinaan dan pemeriksaan secara administratif. Saksi menyebut ada modal awal pendirian LPD Serangan Rp 2 juta dari Pemprov Bali dan juga dari masyarakat.
Saksi mengaku melakukan pembinaan tiga bulan sekali. Dan di LPD Serangan, LPLPD melihat bahwa LPD Serangan dalam keadaan tidak sehat. Yakni ada masalah kredit macet sekitar Rp 3,8 miliar.
Atas temuan itu, LPLPD berinisiatif mencarikan solusi menyelesaikan masalah, yang salah satunya bertemu dengan Jro Bandesa Adat Serangan.
Termasuk di antaranya menanyakan soal kredit atas nama Jro Bandesa Serangan dan dua perusahaan milik Jro Bandesa.
Saat itu, kata saksi, pihaknya belum menemukan atau belum muncul adanya 17 kredit fiktif. Saksi baru tahu ada 17 kredit fiktif setelah adanya penyelidikan oleh Kejari Denpasar.
Atas temuan itu, LPLPD kemudian memberikan rekomendasi, yang salah satunya adalah membentuk tim khusus dalam penyelamatan LPD Serangan. Selanjutnya LPLPD berkoordinasi dengan tim yang dibentuk. Di sanalah LPLPD menerima laporan ditemukan deposito fiktif Rp 2 milir, yang diketahui dari tim khusus yang dibentuk.
Sementara saksi Kasi Pembinaan LPD se Bali, I Gusti Agung Putra, lebih banyak menjawab tidak tahu dengan nada suara yang kecil sehingga beberapa kali diingatkan hakim. Dia mengatakan tugas pokok saksi adalah melakukan pembinaan LPD se Bali. Melakukan pembinaan sesuai jadwal yang sudah ada. Biasanya persemester, atau dua kali dalam setahun.
“Soal LPD Serangan,” tanya jaksa. Saksi mulai bingung, dengan mengaku tidak ada melakukan pembinaan. Terus siapa melakukan pembinaan? Saksi melemparnya ke provinsi.
Jaksa memancing soal pendirian LPD harus ada pararem atau awig-awig. Namun LPD Serangan, apakah ada pararem? Saksi mengatakan kurang tahu. Lantas, selaku kasi pembinaan,
apakah ada menerima laporan bulanan, triwulan atau semester dari LPD Serangan? Lagi-lagi saksi dengan suara pelan mengatakan tidak ada.
Jaksa lainnya kemudian menanyakan, yang mesti menjadi nasabah di LPD siapa saja? Saksi menyatakan warga masyarakat adat sekitar. Lantas, warga asing bisa tidak? “Tidak boleh,” jawab Kasi Pembinaan LPD se Bali, Agung Putra. (Miasa/Balipost)