MANGUPURA, BALIPOST.com – Peringatan 20 tahun Tragedi Bom Bali I diisidengan pelepasan 6 penyu, 100 tukik, dan burung merpati di Pantai Bengiat, Nusa Dua, Rabu (12/10). Kegiatan bertajuk Harmony in Diversity ini, dipimpin langsung Kadensus 88 Antiteror, Irjen Pol Marthinus Hukom, SIK, MSi.
Dalam sambutannya, perwira tinggi Polri yang sebelumnya melakukan operasi penangkapan terhadap Ali Imron, salah satu pelaku Bom Bali I, mengatakan, pelepasliaran penyu dan burung merpati pada momentum peringatan Bom Bali, memiliki tiga filosofi penting. Yakni merawat nilai kehidupan, kebebasan, dan keseimbangan.
Dikatakan, pelaksanaan kegiatan ini sekaligus menjadi wujud nyata dari adanya semangat bergandeng tangan menciptakan perdamaian tanpa kekerasan. Untuk itu, dibutuhkan bantuan dan support dari semua pihak.
“Berkenaan dengan kehidupan, kita adalah sama-sama manusia. Dan manusia, siapapun itu, memiliki hak untuk hidup. Tidak ada manusia, yang mempunyai hak untuk mengambil kehidupan orang lain,” sebutnya.
Bicara soal kehidupan, katanya, juga berbicara soal martabat manusia. Dan terkadang, terorisme terjadi akibat adanya orang yang ingin mendapat pengakuan tentang martabat.
“Tapi mereka lupa, bahwa setiap martabat manusia memiliki hak yang sama untuk hidup saling menghargai. Ketika kita merasa bahwa martabat kita lebih tinggi, maka di situlah terjadi superioritas dan penzoliman terhadap orang lain,” ungkapnya.
Hal tersebut, sambung dia, kemudian berkaitan dengan nilai kebebasan. Karena dalam hidup, harus bebas mengekspresikan semua nilai yang diyakini, selama tidak bertentangan dengan nilai sosial yang ada. “Kebebasan itu juga dibatasi oleh kebabasan orang lain. Sehingga ketika bicara tentang kebebasan, maka kebebasan akan berhenti persis di ujung kebebasan orang lain,” sebutnya.
Sementara nilai ketiga, yakni keseimbangan. Pelepasliaran penyu dan burung merpati, katanya merupakan salah satu bagian dari penerapan nilai keseimbangan dengan lingkungan. “Tiga nilai ini berhubungan dengan apa yang sedang kita peringati hari ini, yakni peringatan 20 tahun Bom Bali I. Tragedi kemanusiaan yang terjadi, telah merampas hak-hak hidup orang lain, atas pengakuan martabat diri sendiri. Itulah yang harus kita hindari selama ini. Sehingga dengan menghargai kehidupan, menghargai martabat, dan menghargai keseimbangan maka yakinilah kita akan hidup berdampingan dengan damai dan aman,” pungkasnya.
Hal senada disampaikan oleh Zanubba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid yang turut hadir dalam rangkaian kegiatan tersebut. Mengutip penyampaian ayahnya yakni Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dia menegaskan bahwa Tuhan tidak perlu dibela.
Krena yang perlu dibela adalah makhluknya, yang menganiaya satu sama lain. “Kita melihat bahwa tragedi Bom Bali itu menggambarkan itu semua. Bahwa ada orang-orang yang mengatasnamakan Tuhan lalu kemudian melakukan tindakan terorisme, melukai orang lain yang juga makhluk Tuhan,” sebutnya.
Tragedi Bom Bali, kata dia, merupakan sebuah tragedi yang sangat mengerikan bagi umat manusia. Utamanya bagi masyarakat Indonesia, dan masyarakat Bali pada khususnya.
Namun demikian, ia meyakini ada hal-hal baik yang muncul dari sebuah tragedi. Salah satunya yakni gerak cepat pemerintah untuk membentuk Densus 88, dan berhasil membongkar, menangkap, dan mengadili jaringan teror yang berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah dan Al Qa’ida.
“Ini semua adalah upaya mengamankan masa depan kita. Kita tentu tidak bisa membayangkan kalau jaringan teror ini masih berkeliaran di tengah-tengah kita. Jadi saya sangat menghargai kerja yang dilakukan oleh Densus untuk mendeteksi, menangkal, mendistrupsi, dan mereduksi aksi teror,” pungkas wanita aktivis Nahdlatul Ulama. (Yudi Karnaedi/balipost)