DENPASAR, BALIPOST.com – Keberadaan toko modern berjaringan sejak lama menjadi perbincangan di kalangan masyarakat. Bahkan, Pemkot Denpasar pun sempat melakukan pembatasan dengan mengeluarkan Perwali No 9 tahun 2009 tentang Penataan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
Sayangnya, sejalan dengan perkembangan regulasi yang ada, kini keberadaan toko modern tidak bisa dibendung. Pembangunannya makin massif.
Kondisi ini pun disoroti anggota Komisi III DPRD Denpasar, A.A.Susruta Ngurah Putra, Jumat (14/10). Dikatakan, perkembangan toko ritel berjaringan di Denpasar sangat massif, agresif, dan tentunya akan sangat menekan ritel-ritel lokal.
Pihaknya berharap Pemerintah Denpasar mencari celah untuk menekan perkembangannya tersebut. Juga, mendorong retail lokal untuk berkembang. “Sudah banyak keluhan dari peritel lokal atas adanya kesulitan pemenuhan barang mereka akibat pemasok wajib memenuhi kebutuhan outlet ritel nasional tersebut lebih awal,” ujar politisi Demokrat ini.
Susruta berharap pemerintah mendorong ritel lokal menjadi ritel modern dan bukannya membiarkan yang berjaringan nasional menguasai daerah. “Kalau dibiarkan, ke depan niscaya tidak akan ada lagi yang namanya toko milik masyarakat lokal, tidak ada lagi Toko Bu Agung, Toko Nyoman, dan lainnya yang merupakan brand lokal,” ujarnya.
Disebutkan, ada beberapa daerah/provinsi yang menerapkan pembatasan sehingga ritel jaringan ini tidak bisa masuk ke daerah itu. “Pemkot Denpasar harus belajar ke daerah tersebut, bagaimana mereka melindungi pengusaha lokalnya. Contoh daerah Sumatera Barat,” katanya.
Sebelumnya, Kadisperindag Denpasar, Sri Utari yang ditemui di sela-sela operasi pasar di Pasar Badung, mengakui saat ini dengan regulasi yang baru, pihaknya tidak bisa melakukan penertiban pembangunan toko berjaringan. Karena dengan keluarnya UU Omnibus, semua kewenangan ada di pusat. “Pemerintah daerah tidak lagi perlu mengeluarkan izin-izin terkait pembangunan toko modern. Kita tidak bisa lagi seperti dulu,” ujar Sri. (Asmara Putera/balipost)