Situasi lokasi jembatan alternatif penghubung Tegalcangkring-Penyaringan di utara jembatan Biluk Poh yang putus karena banjir bandang pada Senin (17/10). (BP/Dokumen)

NEGARA, BALIPOST.com – Cuaca ekstrem yang melanda wilayah Bali membawa duka mendalam. Pasalnya, sejumlah wilayah di Bali dilanda bencana banjir dan tanah longsor yang menimbulkan enam korban jiwa. Berbagai faktor bisa jadi penyebabnya, dua di antaranya akibat ulah manusia yakni perusakan hutan dan pembangunan yang menutup alur sungai.

Banjir bandang yang menerjang Sungai Biluk Poh serta sejumlah daerah aliran sungai (DAS) di Jembrana awal pekan lalu membuktikan bahwa alam di hutan sedang tidak baik. Siklus banjir bandang di setiap DAS di Jembrana selama kurun waktu 15 tahun ini, semakin pendek.

Kasus banjir Biluk Poh, jika dirunut berdasar siklus dimulai 2008. Terjadi kembali pada 2018 (jarak 10 tahun), dan saat baru empat tahun kembali terjadi dengan volume yang lebih besar dari dua banjir sebelumnya. Kayu-kayu besar dari hutan di tiap banjir bandang itu selalu menyertai.

Pola pelestarian melalui Program Hutan Desa yang diterapkan di sejumlah desa di Jembrana, merupakan upaya “persuasif” melibatkan warga desa menjaga kelestarian hutan sekaligus memberikan manfaat ekonomi. Namun, apakah sudah seimbang kewajiban (menjaga hutan) dan hak (pemanfaatan ekonomi) pengelolaan hutan itu? Ataukah selama ini justru timpang lebih berat di sisi ekonomi?

Baca juga:  PPKM Darurat, Bali dan Jatim Paling Rendah Penurunan Mobilitasnya

Aktivis lingkungan hidup asal Jembrana, I Putu Bawa mengatakan banjir bandang yang terjadi dari hulu itu tidak akan menyadarkan seluruh komponen apabila dilihat sebagai bencana dampak cuaca ekstrem. “Kalau kami lihat ini bukan bencana alam, jadi maksud saya sebenarnya ini ulah kita bersama. Kalau kita salahkan alamnya, kita tidak akan pernah melakukan perbaikan. Pemanasan global karena ulah manusia. Untuk melakukan perbaikan, (masih) ada harapan untuk masa depan yang lebih baik,” ujarnya.

Memang banjir disebabkan curah hujan yang tinggi di hulu, tapi yang menyebabkan juga ada peran manusia. Memang ada sejumlah upaya dalam menjaga hutan seperti pola perhutanan sosial, tetapi apabila tidak dibarengi dengan tindakan nyata, akan sia-sia.

Aktivis lingkungan yang juga warga lokal Jembrana ini menilai bila sepakat hutan rusak dan ada upaya memperbaiki hutan yang rusak, harus masuk dan melihat fakta di hutan. “Kalau untuk memperbaiki, harus ada tindakan yang kita lakukan, tidak bisa hanya kita katakan
saja. Kita lihat fakta masuk ke hutan. Nah apalagi di dalam hutan ini sekarang ada manusianya. Tidak seperti dulu hanya tumbuhan dan hewan, sekarang ada manusia di sana,” ujarnya.

Baca juga:  Rangkaian HUT ke-77, TNI AL Bersih Pantai Lembeng

Semua harus berani mengakui bahwa ada sesuatu hal yang lebih besar yakni ekologi, daripada pertimbangan ekonomi. Menurutnya ini bukan kesalahan alam atau satu dua orang, tetapi kesalahan bersama.

Bawa yang saat ini berupaya melakukan upaya penyadaran warga penyanding hutan pentingnya menjaga ekosistem berharap apapun konsep menjaga alam jangan hanya berakhir di sebuah teks dan jargon.

Menurut dosen pengampu mata kuliah Geomorfologi di Fakultas Pertanian Unud, Drs. R Suyarto, M.Si., bencana yang terjadi di sejumlah wilayah di Bali, memang akibat curah hujan yang melebihi limit. Sehingga sampah maupun ranting di kawasan hulu ikut terbawa hingga hilir.

Bahkan, terkait bencana longsor, memang diakuinya karena material di Bali sebagian besar rawan longsor. Faktor pembangunan yang menutup alur air, saat ini banyak terjadi. Terutama di kawasan perkotaan, yang tadinya alurnya cukup lebar, sekarang sempit dan menjadi rumah.

Baca juga:  Longsor Tutup Akses ke Sungai Gelar Palunganbatu

Sehingga air yang seharusnya meresap di kanan dan kiri sungai, mengakibatkan banjir. Keselamatan manusia, kata dia, menjadi yang nomor satu, mengingat pemukiman di bantaran sungai, memang sangat rawan sekali.

Untuk itu saluran air perlu dibenahi. Dengan adanya tumpukan sampah, pembersihan sampah di sungai menjadi sangat penting. “Ada istilah yang sering digunakan, yakni Prokasih atau program kali bersih. Selain itu program normalisasi sungai, ini perlu dilakukan tidak hanya di perkotaan, namun juga termasuk di kawasan perbukitan atau di hutan-hutan. Jangan sampai sampah atau ranting pohon, menutup saluran sungai,” katanya.

Sementara itu secara mitigasi, dalam rangka nenanggulangi bencana, untuk di hulu, diharapkan warga yang bermukim di lereng terjal dan di pinggir sungai, agar lebih berhati-hati. Senderan-senderan agar diperkuat, artinya sesuai dengan kondisi tanah dan kondisi air setempat. (Surya Dharma/Yudi Karnaedi/balipost)

BAGIKAN