Warga mengevakuasi wisatawan menggunakan ruber boat saat banjir di Legian, Badung, Sabtu (8/10). Sejumlah titik di kawasan ini terendam air saat hujan lebat mengguyur. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Tidak sulit mencari jawaban apa penyebab bencana banjir dan tanah longsor yang menerjang Bali. Kawasan hutan di hulu telah dirusak dan daerah aliran sungai (DAS) beralih fungsi jadi pemukiman atau vila dan hotel. Pariwisata yang terlalu dimanja memacu laju pembangunan di Bali nyaris tidak terkendali.

Warna cokelat pekat air bah di aliran sungai saat hujan deras mendera, menjadi bukti betapa lapisan tanah tergerus hebat. Akar pepohonan yang menjadi penyangga alami tidak lagi kuat karena pohonnya telah “dihabisi”.

“Fungsi hutan sangatlah penting menahan air hujan mulai dari daun hingga akar pohon. Daun menahan laju air hujan sehingga menetes ke tanah dan diserap. Akar pohon menyimpang air dan dikeluarkan menjadi mata air,” terang Dr. Ir. Made Sudarma, Ketua Forum DAS Bali.

Baca juga:  Presiden Jokowi di Bali, Tinjau Sejumlah Fasilitas Penyelenggaraan KTT G20

Selain itu, DAS di Bali juga tidak kalah rusaknya sehingga air sungai mengalir sangat deras mengikis dan menghantam apapun yang dilaluinya. Kerusakan DAS salah satunya dipicu oleh terjangan pembangunan sarana akomodasi pariwisata dan pemukiman.

Maka, tidak akan mudah dibantah jika penyebab banjir saat ini yang mengepung Bali karena rusaknya kawasan hulu dan DAS. “Hutan adalah rumahnya hujan. Jika rumahnya rusak, air hujan mengamuk dan menjadi banjir,” tegas Sudarma.

ariwisata di Bali terlalu dimanjakan. Apa saja kalau sudah menyangkut kepentingan pariwisata, menurut Sudharma akan diutamakan. Sementara untuk sektor lain, seperti perlindungan kawasan hulu dan DAS tidak menjadi fokus utama.

Sementara itu menurut Made Krisna Dinata, Direktur Walhi Bali, masifnya pembangunan fisik dan infrastruktur di Bali yang tidak lepas dari soal pariwisata menjadi penyebab alih fungsi lahan. “Adanya proyek-proyek yang mengorbankan hutan dan sawah tentunya semakin memicu potensi buruk bagi keberlangsungan iklim sehingga mengurangi daya dukung Bali,” tegasnya.

Baca juga:  Berhasil Kontrol COVID-19, Korsel Kembali ke Kehidupan Normal

Krisna menyajikan data tingginya alih fungsi lahan sawah di Bali yang dtandai dengan lenyapnya banyak subak. “Menurut penelitian Doktor Made Geria, tahun 2030 subak di Bali diperkirakan akan habis. Padahal fungsi sawah sangatlah besar dalam menampung air termasuk air hujan,” katanya.

Setiap 1 hektar sawah dapat menampung 3.000 ton air. Jika, sawah beralih fungsi menjadi pemukiman atau proyek infrastruktur lainnya, maka air akan meluber ke mana-mana. Terjadilah banjir dan tanah longsor seperti yang terjadi pada tanggal 17 Oktober lalu.

Sudarma mengingatkan bahwa selain kerusakan lingkungan, perubahan iklim juga menjadi pemicu bencana. Salah satu wujud perubahan iklim adalah cuaca ekstrem, dimana saat hujan, intensitasnya sangatlah tinggi. Sementara jika musim kemarau, panasnya akan sangat tinggi. Curah hujan yang terjadi belakangan berlangsung dalam intensitas yang sangat tinggi, dan ini merupakan wujdu nyata perubahan iklim.

Baca juga:  Poltekpar Bali Dukung Pengembangan SDM Destinasi Super Prioritas

Menurut Sudarma, perubahan iklim dampaknya lebih besar dibandingkan pandem Covid-19. “Jika pandemi Covid-19 berdampak dalam waktu dua hingga tiga tahun, kalau perubahan iklim bisa berdampak jangka panjang. Cuaca ekstrem salah satunya, yang menjadi pemicu banyak bencana banjir dan tanah longsor,” tegasnya.

Baik Sudharma maupun Bokis meyakini bahwa di masa datang, bencana yang lebih parah akan lebih sering menerpa Bali. Jika kerusakan hutan dan DAS serta alih fungsi lahan tidak bisa dibendung, maka bersiaplah untuk menerima akibat bencana yang lebih besar. (Nyoman Winata/balipost)

BAGIKAN