Oleh I Gusti Ketut Widana
Hindu dikenal taat dan disiplin dalam menjalankan ajaran agamanya, terutama yang berkaitan dengan ritual
(yadnya). Walaupun relatif tidak mengetahui landasan teologi dan filosofinya, umat Hindu merasa mantap dan penuh keyakinan melaksanakan kewajiban ritualnya.
Penyebabnya adalah kepatuhan pada adagium ‘gugon tuwon’, yang biasanya disertai anak kalimat ‘anak mulo keto’ (memang sudah demikian adanya). Sehingga umat tinggal menjalankan ritual itu tanpa perlu mempertanyakan sumber rujukannya.
Konsekuensinya, kebanyakan umat Hindu relatif “awidya” (awam pengetahuan) dalam pemahaman tattwa-jnana. Kondisi keawaman pengetahuan umat semakin ajeg dengan adanya sesanti Aja Wera, yang lazim dipahami sebagai bentuk “larangan” mempelajari, apalagi mendalami ajaran agama. Jika dilanggar, konon katanya akan menyebabkan “inguh” (galau), yang apabila dibiarkan lama-kelamaan bisa membuat umat “buduh” (gila).
Padahal, jika diselami sejatinya Aja Wera itu adalah
konsep pembelajaran yang memberikan tuntunan kepada
umat Hindu bahwa jika belajar atau mendalami, apalagi ketika sudah menguasai ajaran agama yang penuh rahasia itu hendaknya tidak mabuk atau sombong.
Memang tidak dapat dimungkiri, perihal pengetahuan atau pemahaman umat Hindu tentang isi kitab-kitab suci, terutama Weda relatif jauh dari memadai. Apalagi sebagian besar praktik keagamaan umat Hindu lebih dominan bergerak pada kancah ritual, sehingga menjadi terabaikan pentingnya peningkatan intelektual umat melalui proses pembelajaran agama (tattwa-jnana).
Adanya adagium Aja Wera, seakan mendoktrin umat untuk tidak perlu belajar tentang Weda, atau pustaka suci lainnya. Umat cukup menggugu lalu meniru apapun ajaran atau tuntunan yang selama ini sudah diwariskan dari pendahulu (leluhur).
Umat tinggal melaksanakan saja tanpa perlu mempelajari atau banyak bertanya apalagi memperdebatkannya. Belum lagi ada anggapan bahwa urusan mengetahui, mengerti dan memahami kandungan Weda adalah porsinya Brahmana yang dalam konteks Catur Warna dikenal sebagai golongan yang membidangi bidang kerohanian/keagamaan. Apakah itu menyangkut pengetahuan tentang kandungan isi Weda, ucapan doa mantra, dan lebih-lebih yang berkaitan dengan pelaksanaan ritual yadnya.
Semuanya seakan sudah lumrah menjadi “kewenangan” sekaligus “keahlian” kaum Brahmana yang di Bali dikenal sebagai kalangan “geriya” selaku Siwa sakala (Tuhan mendunia). Di sinilah letak persoalan mengapa umat Hindu pada umumnya enggan bahkan cenderung malas (ngekoh) untuk belajar menekuni apalagi mendalami kandungan kitab suci Hindu, baik yang tergolong Sruti maupun Smrti.
Bahkan untuk jenis kitab suci yang relatif lebih memasyarakat dan mudah dipahami seperti Bhagawadgita (Pancama Weda), Sarasamuscaya, Manawadharma Sastra (Manusmrti), Slokantara, Niti Sastra, termasuk pustaka lontar yang tak terhitung banyaknya, masih jauh dari sentuhan umat kebanyakan.
Pada kondisi begini, menyebabkan posisi konsep Aja Wera menjadi dilematiis. Di satu sisi lumrah dianggap sebagai bentuk “larangan”, sementara di sisi lain sesungguhnya merupakan sebuah “tuntunan”. Mengandung makna sebagai piteket bagi umat Hindu yang hendak mempelajari, mengerti, memahami, menghayati apalagi kemudian berhasil menguasai ajaran agama yang bersifat esoterik, hendaknya tetap bersikap rendah hati.
Seperti ilmu padi, semakin berisi sepatutnya makin merunduk. Ingat petuah para tetua, “de ngaden awak bisa, depang anake ngadanin”, jangan merasa diri “nawang-bisa” meskipun sudah “dadi” (menjadi sesuatu). Biarkan orang lain menilai dan mengambil .anfaat atas ilmu agama yang dimiliki.
Ilmu apapun itu, lebih-lebih ilmu agama (ajaran kerohanian/spiritual) memang tidak untuk dibangga-banggakan lalu dipamerkan. Sebab hal itu justru akan
menunjukkan keangkuhan atau kesombongan, yang seterusnya dapat menjerumuskan menuju kehancuran,
seperti dinyatakan kitab Bhagawadgita, IV. 37 : Yathai ‘dhamsi samiddho ‘gnir, bhasmasat kurute ‘rjuna, jnanagnih
sarvakarmani, bhasmasat kurute tatha : bagaikan api menyala, membakar kayu api menjadi abu, Oh Arjuna, api ilmu pengetahuan (agama) demikian pula bisa membakar (menghancurkan) segala karma menjadi abu.
Oleh karena itu, menyambut tibanya peringatan hari suci Saraswati (22/10) saat ini, adagium Aja Wera, tampaknya
dapat dijadikan pengingat bagi umat Hindu agar “aja ewer” : de ewer, degag bin ajum (jangan main-main, angkuh dan
sombong), atas pengetahuan atau penguasaan ilmu agamanya, karena akan seperti “menepuk air di dulang”, terkena muka sendiri, akan membuat malu, memalukan sekaligus memilukan. (*)
Penulis, Dosen UNHI Denpasar