Ilustrasi. (BP/Tomik)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bencana banjir dan tanah longsor seminggu lalu yang melanda Bali diprediksi akan lebih sering terulang di masa datang. Bahkan bencana akan menerjang lebih besar karena telah terjadi kerusakan alam akibat pembangunan infrastruktur yang memanjakan pariwisata. Sudah saatnya pemerintah benar-benar berani bersikap melawan kapitalisme pariwisata yang merusak Bali. Demikian disampaikan Guru Besar Emiritus Fakultas Pertanian Unud Prof. I Wayan Windia mencermati bencana yang melanda Bali.

“Banjir hebat telah melanda Bali, khususnya Jembrana. Kualitas dan kuantitas banjir, jauh lebih hebat dibandingkan tahun lalu. Bahkan sudah masuk ke relung-relung kawasan wisata di Denpasar dan Badung. Sehingga petugas harus menyediakan perahu karet, untuk mengevakuasi para wisatawan,” katanya.

Menurut Windia, tahun lalu, sepertinya tidak ada banjir yang sedemikian dahsyat di kawasan wisata. Bahkan menyebabkan pemerintah harus mengevakuasi wisatawan dengan perahu karet. Tetapi tahun ini sudah mulai terjadi. Mungkin penurunan tanah di Denpasar, kata Windia yang demikian mengkhawatirkan, adalah salah satu penyebab, mengapa kasus itu terjadi.

Bencana tersebut cukup menjadi pertanda bahwa di masa depan akan terjadi yang lebih besar dan dahsyat. “Tanda-tanda alam bahwa Bali akan mengalami bencana yang lebih hebat sudah diberikan. Masalahnya, apa kita dan khususnya elit kita bisa sadar atau tidak. Apakah kita masih silau dengan proses pembangunan infrastruktur yang merusak alam,” tanya Windia retoris.

Lebih jauh, Ketua Stispol Wira Bhakti ini mengungkapkan, banyak ada wacana bahwa yang bisa merusak alam Bali ini, bukan orang luar. Tapi orang Bali itu sendiri. “Apalagi bila telah terjadi kolaborasi antara penguasa dan pengusaha (kapitalis), maka kita hanya terpaku dengan kenikmatan sesaat. Bangga dengan jumlah investasi, bangga dengan jumlah wisatawan (pariwisata massal), bangga dengan PAD, bangga dengan income per kapita, bangga dengan PDRB, dan bangga dengan pembangunan fisik,” urainya.

Baca juga:  Tambahan Harian Kasus COVID-19 Nasional Hampir 5.000 Orang

Sekarang masalahnya, lanjut Windia, tergantung dari keberanian pemerintah. Beranikah pemerintah “melawan” kaum kapitalis untuk mengenakan pajak air tanah yang lebih tinggi. Uang yang terkumpul digunakan untuk penghijauan, reboisasi, membuat sumur resapan, dll. Beranikah pemerintah melakukan kebijakan moratorium untuk pembangunan hotel di Bali. Beranikah pemerintah menghentikan kebijakan pariwisata massal. Beranikah pemerintah melaksanakan UU tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Dengan demikian, alih fungsi lahan sawah akan terhenti atau terkendali.

Kondisi ini, dinilainya akan memudarkan pariwisata Bali. Mengutip pernyataan Ahli pariwisata Prof. Putu Anom, Windia mengungkapkan kekhawatiran bahwa kasus banjir ini akan mempengaruhi minat wisatawan datang ke Bali.

Semua orang mengatakan bahwa hal ini adalah akibat dari keserakahan manusia. Manusia terlalu mata duitan. Manusia terlalu eksploratif dan eksploitatif terhadap alam. Kalau alam Bali rusak parah, memang bukan tidak mungkin para wisatawan akan enggan datang ke Bali. Kawasan wisata Pulau Lombok, Banyuwangi, dan Labuhan Bajo di Flores, kiranya sudah siap menjadi alternatif, kalau alam Bali sudah hancur.

Menurut Windia, arsitek, alm. Wayan Gelebet telah lama menyatakan, bahwa kerusakan alam Bali sudah nyegara-gunung. Bahwa eksplorasi dan eksploitasi terhadap alam Bali tidak saja dilakukan oleh manusia di kawasan hulu, tetapi juga dilakukan di kawasan hilir. Di kawasan hulu dilakukan banyak sekali penebangan hutan illegal, dan di kawasan hilir telah dilakukan banyak sekali eksplorasi dan eksploitasi air tanah.

Baca juga:  Kasus COVID-19 Baru Nasional Capai Empat Ratusan Orang

Beberapa hari yang lalu, Windia juga mengaku menerima kiriman laporan hasil penelitian. Kegiatan penelitian yang dilakukan atas kerjasama Bank Dunia, Global Water Security and Sanitation Partnership (GWSP), dan Bappenas. Judulnya: Indonesia, Visi 2045, Menuju Ketahanan Air. Mereka mencatat tentang kondisi air di beberapa belahan Indonesia, termasuk Kota Denpasar. Bahwa sebagai akibat dari pengambilan air tanah yang berlebih, maka penurunan tanah di Denpasar mencapai rata-rata 1-3 cm per tahun. Penurunan tanah di Bandung yang paling dahsyat, yakni rata-rata 1-20 cm per tahun. Sedangkan di Jakarta penurunannya rata-rata 1-15 cm/tahun.

“Riset itu mencatat bahwa, bila kita tidak melakukan apa-apa, dan tidak ada tindakan yang strategis, maka trend penurunan tanah akan terus berlanjut. Karena ancaman terhadap air yang ada pada akuifer akan terus meningkat. Sebaliknya, penurunan tanah akan terhenti, bila kita melakukan tindakan pembatasan pengambilan air tanah pada tingkat yang aman,” jelas Windia.

Ketua Stispol Wira Bhakti ini memaparakan lebih lanjut jika Mangku Pastika saat menjabat gubernur Bali pernah mengambil kebijakan tentang air tanah. Yakni dengan mengenakan pajak yang cukup tinggi terhadap setiap unit pegambilan air tanah. Ternyata pihak hotel di Bali ribut setengah mati. “Demikianlah memang watak kaum kapitalis. Mereka tidak mau keuntungannya berkurang. Mereka tidak perduli dengan lingkungan dan keberlanjutan. Mereka tidak perduli dengan kiri dan kanan. Pokoknya, harus ada keuntungan (profit), efesiensi, dan produktivitas. Persetan dengan kemanfaatan bersama (benefit), efektivitas, dan sustainabilitas.” katanya.

Baca juga:  Tambahan Kematian COVID-19 di Bali Capai Rekor Baru! Pasien Sembuh Juga

Nikmat dari pariwisata, menurut Windia sejatinya hanya proses nikmat yang membawa sengsara. “Seperti tikus yang menggigit jari kaki kita, tatkala kita sedang tertidur. Sambil sang tikus meniup-niup jari kaki, maka ia terus menerus menggigit jari kaki kita. Memang terasa nikmat sesaat. Tetapi besok paginya, tiba-tiba saja kita merasa luka di kaki. Lalu kita memaki-maki. Tetapi luka sudah terjadi,” terangnya.

Tahun lalu, hanya satu jembatan yang rusak di Jemberana, ketika ada banjir bandang. Penyebabnya sama, yakni kayu-kayu gelondongan yang menghantam jembatan (akibat pencurian kayu). Tahun ini keadaannya semakin parah. Kalau seumpamanya jalan tol sudah jadi (semoga tidak jadi), maka jembatan yang ada di jalan tol itu mungkin akan ikut hancur.

Mengapa kawasan wisata Ubud tahun ini ikut terkena banjir? Karena sawah-sawah di sepanjang jalan memuju Tegallalang habis “dimakan” artshop. Maka air dari utara tidak ada yang menampung. Setiap hektar sawah bisa menampung 30 ton air.

Air bah yang tak tertampung itulah akhirnya menerjang Ubud dan Peliatan.  Sekali lagi, inilah pertanda nikmat pariwisata yang membawa sengsara, kalau ia tidak dikendalikan dengan ketat. “Kalau kita tetap tidak perduli, silahkan saja terus menikmati dunia ini. Saya ucapkan selamat menikmati dunia,” pungkas Windia. (Winatha/balipost)

BAGIKAN