DENPASAR, BALIPOST.com – Pagerwesi merupakan hari suci umat Hindu yang jatuh setiap 6 bulan sekali. Tepatnya empat hari setelah Hari Raya Saraswati, yaitu pada Buda Kliwon Wuku Sinta. Perayaan Hari Suci Pagerwesi ternyata merupakan implementasi sekaligus memperkuat visi Gubernur Bali Nangun Sat Kertthi Loka Bali bagi warga Bali. Pagerwesi adalah pemujaan kepada Sang Pramesti Guru (Tuhan) dengan segala ciptannya. Terjaganya alam Bali yang suci dan SDM Bali (Jana Kertthi) yang cerdas dan berkarakter.
Hal itu terungkap dalam Dialog Merah Putih Bali Era Baru “Memaknai Hari Suci Pagerwesi Dalam Masyarakat Hindu, Memperkuat Nangun Sat Kerthi Loka Bali” di Warung Coffee 63 Denpasar, Rabu (26/10). Ketua Majelis Desa Adat (MDA) Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, I Komang Warsa, S.Pd., M.Si., M.Pd., mengatakan bahwa lontar Sundarigama menjadi dasar Hari Raya Pagerwesi. Sebab, dalam lontar ini disebutkan Buda Kliwon Wuku Sinta ngaran Pagerwesi yang merupakan payogan Sang Hyang Pramesti Guru. Dikatakan, makna pagerwesi tidak bisa dilepaskan dengan rangkaian Hari Raya Saraswati. Sebab, Pagerwesi merupakan satu kesatuan dengan Hari Raya Saraswati. Hal ini berarti secara keseluruhan rainan di Bali yang didasari oleh lontar-lontar di Bali tidak bisa dipisahkan begitu saja. Karena selalu ada keterkaitan, baik itu dengan ajaran Catur Purusa Artha atau ajaran Catur Guru, dan sebagainya.
“Pada prinsipnya kita harus menyadari bahwa kita dibentuk oleh 3 ibu yang disebut dengan Trining Ibu, yaitu ibu yang melahirkan kita (sang guru rupaka), ibu tanah atau ibu pertiwi, dan ibu Saraswati yang memberikan jnana (pengetahuan,red) kepada kita semua,” ujar Bendesa Adat Alasngandang, Karangasem ini.
Dikatakan, ibu saraswati inilah yang memiliki hakikat memagari kita dengan ilmu pengetahuan. Sehingga, kecerdasan kita dipagari agar tidak liar. “Inilah momemnya yang disebut Pagerwesi. Sebab, sesuatu yang dipagari itu berarti ada sesuatu kemuliaan yang ada di dalam diri kita yang menyatu dengan jiwa,” tandas Guru Ajeg Bali ini.
Lebih lanjut dikatakan, bahwa pelaksanaan Hari Raya Pagerwesi di Bali telah dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tattwa-nya. Bahkan, pada hari raya ini seluruh siswa dan mahasiswa diliburkan, agar khusuk melaksanakan sembahyang pada Hari Raya Pagerwesi. Apalagi Pemerintah Provinsi Bali telah konsen terhadap semua perayaan hari raya suci di Bali. Bahkan, Gubernur Bali Wayan Koster dalam merayakan Tumpek Landep telah dibuatkan aturan agar umat Hindu di Bali secara khusuk merayakan hari raya di Bali.
Paruman Walaka PHDI Provinsi Bali, I Ketut Wartayasa, S.Ag., M.Ag., mengatakan beragama Hindu di Bali tidak terlepas dari kerangka tattwa, etika, dan yadnya. Dimana, tattwa Pagerwesi termuat dalam lontar Sundarigama. Sedangkan dari kerangka etika, dimana pada hari Pagerwesi ini umat Hindu mestinya mulat sarira.
Dalam kerangka yadnya, I Ketut Wartayasa yang juga akademisi STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini mengatakan, seluruh umat Hindu melaksanakan upacara perayaan Pagerwesi dengan tulus ikhlas dan sesuaikan dengam dresta agar semua diberikan keselamatan dan kerahayuan. ”Yang tak kalah penting pada Hari Pagerwesi ini magehang dewek, introspeksi diri, mulat sarira dengan menggunakan ilmu pengetahuan,” ungkapnya.
Perayaan Hari Pagerwesi mengingatkan kita akan kebesaran Hyang Widhi (Tuhan) yang menciptakan alam beserta isinya. kemudian Gubernur Bali Wayan Koster memperkuat konsep itu ke dalam Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Makanya dia berani mengatakan guru dari Sad Kertthi itu adalah Sang Pramesti Guru.
Dikatakannya, Bali memerlukan SDM atau Jana Kerthi yang cerdas untuk mengelola daerah ini. Bahkan G20 bisa sukses karena ditopang SDM yang cerdas. Alam Bali (Jagat Krerthi) beserta di dalamnya Danu Kerthi, Segara Kerthi, Wana Kerthi dan Atma Kerti harus dijaga kelestariannya. ”Kita memanfaatkan dan menerapkan Sad Kerthi berarti kita hormat kepada Sang Pramesti Guru,”tegasnya. (Winatha/balipost)