Pengunjung melihat-lihat kerajinan logam di salah satu pameran UMKM, Art Center Denpasar. Produk kerajinan merupakan salah satu komoditi ekspor Bali. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sinyal melemahnya ekonomi Indonesia akibat resesi global mulai menguat. Hal ini terlihat dari beberapa sektor usaha di Indonesia yang mulai menurunkan produksi dan melakukan efisiensi di segala lini.

Ketua Asosiasi Eksportir dan Produsen Handicraft Indonesia (Asephi) Bali Ketut Darma Siadja, Rabu (26/10) mengatakan, mulai terjadi pengurangan volume ekspor terutama produk handicraft dan garmen. Tujuan ekspor yang telah terasa penurunannya yaitu Amerika Serikat dan Jerman.

Sementara Jerman dengan ekonomi terbesar di Eropa tahun 2023 diprediksi mengalami kontraksi 0,3 persen dan inflasi diperkirakan naik menjadi 9,3 persen pada 2023 dan upah riil per kapita diprediksi mengalami penurunan sehingga berdampak pada daya beli. Sedangkan Amerika Serikat telah lebih dulu melakukan pengetatan ekonomi dengan menaikkan suku bunga acuannya akibat inflasi yang tinggi. Bahkan data terakhir inflasi inti Amerika Serikat naik 6,6 persen.

“Ekspor belum normal karena masyarakat pasar kita di Eropa lagi kelimpungan, resesi. Sudah ada order cuma belum kembali normal ke posisi sebelum pandemi tapi dengan kenaikan dolar kita harapkan bisa membantu sedikit agar mereka lebih agresif belanjanya, karena barang-barang kita jadi murah harganya,” ujarnya Rabu (26/10).

Baca juga:  Wana Kerthi Upaya Meminimalisir Eksploitasi Ekosistem Kawasan Hulu

Penurunan order memang sudah dirasakan sejak awal tahun 2022 dan mulai menurun drastis sejak 2- 3 bulan belakangan. Kebanyakan anggota bekerja berdasarkan order yang masuk. Dengan order yang berkurang, produksi juga berkurang, dan kondisi itu terjadi sejak awal pandemi. Penurunan produksi yang dialami ada yang 20 persen hingga 50 persen.

Produk yang diekspor diantaranya kerajinan kayu, perak, kerajinan kerang-kerangan dan garmen. “Namun per perusahaan khususnya garmen beda-beda gejala yang dihadapinya,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi kondisi pelemahan ekonomi global diakui efisiensi mesti dilakukan seperti pemangkasan karyawan. Beberapa anggota Asephi Bali diakui terpaksa memangkas karyawan karena tak cukup kuat menahan tekanan ekonomi. Sejak awal pandemi, pemangkasan karyawan dilakukan. Ia berharap semester II 2023 kondisi ekspor sudah mulai membaik.

Menurutnya, dengan banyaknya prediksi ekonomi gelap tahun depan, pelaku usaha telah mengambil langkah antisipasi sehingga ia memprediksi dampak yang ditimbulkan akibat resesi global ini dapat diminimalisir.

Akademisi Ekonomi dari Universitas Udayana Prof. Wayan Suartana mengatakan, dampak dai resesi yang menghantui selanjutnya adalah gelombang PHK. Gelombang PHK tidak bisa dihindari karena kecenderungan munculnya stagflasi akibat kenaikan inflasi tidak dibarengi dengan penciptaan lapangan kerja baru.

Baca juga:  “Cash is King”, Kunci Menghadapi Resesi Ekonomi?

Perusahaan yang bergerak di segmen start up banyak yang merumahkan karyawannya. “Ini merupakan sinyal bahwa kondisi ekonomi dan dunia usaha pada umumnya belum pulih,” ujarnya.

Sinyal ini juga harus ditangkap sebagai peringatan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk bergerak bersama memitigasi risiko supaya tidak terjadi resesi. Resesi harus dihindari dengan mengerahkan seluruh kekuatan dan potensi yang dimiliki. “Koordinasi pemerintah pusat dan daerah perlu terus diintensifkan,” imbuhnya.

Pemerintah daerah lewat tim pengendali inflasi harus memantau secara real time pergerakan harga dan intervensi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Pelaku usaha perlu juga dilibatkan untuk mengetahui realita yang ada. Kebijakan-kebijakan prioritas menurutnya agar diarahkan untuk mengerem terjadinya resesi. Resesi wajib dihindari karena akan berdampak luas bagi kehidupan sosial masyarakat.

Tidak hanya ekspor, sektor pariwisata juga mesti mewaspadai kondisi ini. Pengamat ekonomi Viraguna Vagoes Oka mengatakan, pelaku usaha pariwisata mesti mewaspadai merosotnya kunjungan wisatawan ketika resesi global terjadi. Kondisi itu terjadi seiring tingginya inflasi serta memicu krisis biaya hidup diberbagai negara.

Viraguna menyampaikan, memang ancaman resesi global multi dimensi telah memberikan dampak sangat buruk terhadap perekonomian, dunia usaha, ketimpangan, kemiskinan dan kelaparan yang telah mengancam semua negara besar di dunia.

Baca juga:  Mei, Penumpang di Bandara Ngurah Rai Tembus Dua Juta Orang

Bali yang dalam 6 bulan terakhir sedang berusaha untuk bangkit menuju Bali baru ini, masih tetap berada posisi terbawah dibandingkan 34 propinsi lainnya di Indonesia. Itu terlihat dari tingkat pertumbuhannya dalam 2 triwulan terakhir masih tetap bertengger di 3,6 persen dibanding wilayah lain di Indonesia, secara agregat sudah berada di kisaran 4,6 persen.

“Kondisi ini antara lain karena kehadiran wisatawan mancanegara untuk Bali yg belum bisa pulih akibat krisis global,” ujarnya.

Ia berasumsi jika puncak krisis dunia diperkirakan pada awal 2023 sebagaimana diprediksi oleh para pakar dunia termasuk hasil kajian peneliti IMF dan Bank Dunia, termasuk juga pernyataan terkini dari Menteri Keuangan RI di Washinton, DC minggu lalu atas prediksi ekonomi dunia 2023 diperkirakan akan ditengarai gelap.

Dengan berdasarkan kajian dan analisa sebagaimana dikemukakan para pakar, analis IMF, Kemenkeu tersebut, kata Viraguna, maka dapat dipastikan kedatangan wisatawan mancanegara terutama Ke Bali dapat deprediksi akan merosot tajam pada awal 2023. Untuk itu, pemerintah maupun pemimpin Bali untuk mengantisipasi ancaman yang diperkirakan akan dihadapi secara nyata oleh krama Bali tersebut. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN