Elin Erlina Sasanti. (BP/Istimewa)

Oleh Elin Erlina Sasanti

Dalam beberapa bulan terakhir, Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani berkali-kali mengingatkan di berbagai kesempatan pidatonya mengenai situasi dunia yang terancam krisis, penuh ketidakpastian dan mengancam pemulihan ekonomi Indonesia. Bank Indonesia (BI) juga mengungkapkan inflasi di negara berkembang atau emerging market saat ini sudah di atas 10 persen, sementara negara maju yang selama ini mengalami inflasi 0 persen sekarang sudah di atas 8 persen akibat masih berlangsungnya tensi geopolitik Rusia dan Ukraina sementara pandemi Covid-19 belum sepenuhnya berakhir.

Hal ini tentunya perlu menjadi perhatian bagi semua pihak, baik individu maupun pengusaha, agar dapat bersiap-siap menghadapi situasi dan kondisi ekonomi yang masih belum menentu bahkan diperkirakan lebih berat dari kondisi resesi terdahulu. Tidak heran di tengah-tengah situasi yang tidak pasti akhir-akhir ini, istilah cash is king kembali muncul di permukaan. Terakhir istilah ini menjadi popular ketika awal pandemi Covid-19 berlangsung.

Baca juga:  Literasi Digital bagi Kemajuan Peradaban Digital

Cash is king merujuk pada fenomena di mana para pelaku pasar lebih memilih memegang cash. Bagi para pelaku pasar kawakan, memilih untuk memegang cash tentunya bukan sembarangan cash. Hanya dolar Amerika Serikat dan bukan berarti menyimpan dolar AS dalam bentuk tunai saja, tetapi bisa dalam bentuk tabungan, atau instrumen investasi dalam bentuk dolar AS yang likuid. Namun bagaimana dengan masyarakat kebanyakan yang mungkin tidak semua memiliki privilege terhadap dolar AS?

Pada saat menghadapi situasi krisis, tentu saja cash menjadi hal yang berguna. Akan tetapi tidak juga harus menarik uang cash berlebihan yang dapat mengakibatkan rush money. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah menjaga likuiditas yaitu menjaga nilai kecukupan harta likuid tunai kita berupa harta yang bisa dicairkan berupa uang. Uang kas memang penting, namun bukan berarti semua harus dalam bentuk uang tunai karena ada risiko pencurian dan kerusakan fisik uang ketika menyimpan uang tunai dalam jumlah besar di rumah.

Baca juga:  Kepemimpinan Wanita Kekinian

Sehingga, jika memiliki sedikit kelebihan uang, ada baiknya menyiapkan dana dalam bentuk investasi yang lebih mudah diuangkan baik dalam bentuk tabungan, deposito jangka pendek maupun emas. Emas sekarang dapat dimiliki dalam bentuk tabungan sehingga nasabah juga tidak perlu khawatir menyimpan emas di rumah. Intinya adalah investasi tersebut harus dalam bentuk yang likuid, mudah dicairkan sewaktu-waktu ketika akan digunakan. Likuiditas inilah yang akan bermanfaat ketika menghadapi situasi tersulit seperti resesi ekonomi.

Selain menyimpan kas, yang dapat dilakukan sedini mungkin adalah memilah pengeluaran. Ada baiknya kita segera mengurangi bahkan menunda pengeluaran yang sifatnya tidak terlalu penting seperti kebutuhan berupa pemenuhan gaya hidup. Kurangi berhutang untuk memenuhi gaya hidup. Hal ini penting terutama bagi generasi millennial yang kebanyakan lebih mementingkan “penampilan” di media sosial yang tentunya memerlukan modal yang tidak sedikit. Mungkin semboyan “makan untuk hidup bukan hidup untuk makan” ada baiknya digaung-gaungkan kembali sebagai langkah awal memulai memilah pengeluaran. Sebagaimana yang dikatakan oleh Warren Buffet, “Jangan menabung yang tersisa setelah dibelanjakan, tetapi belanjakan apa yang tersisa setelah menabung”, ada baiknya kita mulai segera memilah pengeluaran dan menabung untuk mempersiapkan diri menghadapi resesi ekonomi global yang akan segera menghampiri.

Baca juga:  Pariwisata Indonesia "Go Digital"

Penulis, Mahasiswa Program Doktor Akuntansi FEB Unud

BAGIKAN