DENPASAR, BALIPOST.com – Loan At Risk (LAR) di Bali masih tinggi, mencapai 71% dari total kredit Rp48 triliun. Hal ini yang membuat pada 2023, restrukturisasi kredit
diprediksi masih diperpanjang. Demikian dikemukakan Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Bali, Trisno Nugroho, Selasa (8/11).
Ia mengatakan, pertumbuhan ekonomi 8,09% di atas
proyeksi BI sebesar 6,9% dengan pertumbuhan didominasi akmamin. Dengan nilai PDRB Rp62 triliun pada triwulan III 2022, diakui belum berada kondisi pulih seperti sebelum pandemi yang mencapai Rp64 triliun di PDRB triwulan III 2019. “Sebenarnya belum pulih tapi kalau dari sisi PDRB sudah OK tapi Loan at Risk (LAR) masih tinggi 71%. Apalagi jumlah wismannya baru 1,55 juta,” ujarnya.
Dijelaskan LAR adalah kredit yang kategorinya di luar lancar. Di antaranya kredit yang direstrukturisasi, kredit dalam perhatian khusus, kredit yang diragukan, kredit macet.
“Kalau NPL adalah kredit yang diragukan dan macet.
Sekarang ditambah, tidak hanya kredit yang diragukan
dan macet tapi juga kredit spesial mention ditambah
kredit yang direstrukturisasi. Berarti masih belum banyak
kredit yang membayar karena masih perbaikan, belum full,
sehingga kita ingin sektor hotel, restoran dan katering
(horeka) ini diberikan waktu lagi agar mereka bisa menutupi biaya operasional, untuk dan membayar angsuran,” jelasnya.
Trisno mengatakan secara keseluruhan ekonomi sudah membaik namun seperti orang sakit, perlu waktu untuk pulih. “Baru 8 bulan bisa beroperasional dengan dua tahun sakit apalagi backbone-nya pariwisata, maka perlu waktu,”
ujarnya.
Dengan LAR 71% tersebut, ia memprediksi restrukturisasi akan diperpanjang, entah bersifat parsial atau sektoral. “Kemungkinan sektoral, sektor yang belum pulih akan diperpanjang restrukturisasi,” ujarnya.
LAR menjadi salah satu indikator restrukturisasi bisa diperpanjang. LAR Indonesia sudah mulai membaik sedangkan LAR Bali masih tinggi dibandingkan daerah lainnya. “Kredit kan tumbuhnya kecil 1,69% di Bali sedangkan Indonesia 11% dan backbone Bali adalah horeka. Horekanya belum tumbuh jadi penyaluran kreditnya juga kecil. Dugaan saya, kredit yang tumbuh 1,69% itu di luar horeka. Kredit horeka itu kan kredit untuk membangun hotel, restaurant tinggi banget dulu. Sekarang sektor itu belum bergerak, masih konsolidasi, masih
perbaikan belum ada pembangunan baru, jadi kecil. Memang susah ya … karena backbone-nya masih pariwisata, kita tidak bisa langsung pindah ke sektor pertanian, harus pelan-pelan,” bebernya.
Kepala OJK Regional 8 Bali Nusra Giri Tribroto mengatakan, pada September 2022, penyaluran kredit di Bali sebesar Rp97,97 triliun atau hanya tumbuh 3,22% (yoy), atau 2,90% (ytd) dan 0,72% (mtm). Sedangkan Dana
Pihak Ketiga (DPK) mencapai Rp133,81 triliun atau tumbuh 17,63% (yoy), atau 13,91% (ytd) dan 2,3% (mtm).
Penyaluran kredit perbankan didominasi oleh sektor penerima kredit bukan lapangan usaha (konsumsi) dengan nominal sebesar Rp34,15 triliun dengan market share 34,86% dari total kredit. Sektor lainnya adalah perdagangan besar dan eceran dengan nominal sebesar Rp29,65 triliun dengan market share 30,27%. Sektor penyediaan akmamin sebesar Rp10,80 triliun dengan market share 11,02%.
Namun sebesar 52,18% kredit yang disalurkan merupakan kredit UMKM. Sementara itu penghimpunan DPK perbankan Provinsi Bali didominasi oleh Tabungan dengan market share 50,82%. Pertumbuhan DPK tertinggi terjadi pada giro yang tumbuh 46,20% (yoy). Sementara itu pertumbuhan deposito masih terkontraksi sebesar -0,30% (yoy). (Citta Maya/balipost)