I Kadek Suartaya, S.S.Kar., M.Si. (BP/kmb)

Oleh Kadek Suartaya

Tiada hari tanpa tidur. Itulah Kumbakarna, adik kandung si angkaramurka Raja Alengka, Rahwana. Durasi tidur raksasa bertubuh besar bak gunung ini bukan hanya bergulir harian tapi berbulan-bulan. Dasamuka sangat kesal dan mengumpat saudaranya itu tak berguna.

Namun, ketika negerinya luluh lantak diperangi Rama, ia memaksa membangunkan Kumbakarna agar segera maju ke medan laga. Ketika matahari tegak lurus menyengat bumi, Kumbakarna bangun, kemudian beranjak menyongsong kepungan Rama, Laksmana bersama ribuan prajurit kera yang siap menerjang di bawah komando Sugriwa dan Hanoman.

Sebelum menyabung nyawa, Kumbakarna berkata kepada Rahwana, “Aku mau berkorban jiwa dan raga, bukan membela kezaliman dan napsu liarmu, tetapi demi kehormatan tanah air tumpah darahku, Alengka”. Syahdan, pada perang tanding yang sengit dan dahsyat itu, Kumbakarna gugur sebagai patriot sejati.

Wiracerita Ramayana menuturkan, tokoh wira bukan hanya ada di pihak Rama saja namun juga hadir dari yang berposisi antagonis. Tokoh Kumbakarna sangat layak disematkan pahlawan dengan kriteria keberaniannya, pengorbanannya, dan sikap membela kebenaran yang dijunjungnya.

Baca juga:  Hospitality Imigrasi, Wajah Negeri

Moral kepahlawanan Kumbakarna ini banyak menginspirasi prilaku individu dan kehidupan sosial-kultural kita. Wayang Wong yang diduga muncul pada zaman keemasan kebudayaan Bali di abad ke-16 era Dalem Waturenggong, tak asing dengan lakon kepahlawanan Kumbakarna itu.

Bahkan bagi sekaa Wayang Wong Desa Tejakula, Buleleng, misalnya, lakon nan epik cerita Ramayana itu, termasuk bagian yang paling sering dipentaskan, baik ditampilkan sebagai seni sakral di pura setempat maupun dalam pagelaran di ruang profan—dengan topeng duplikat–dalam Pesta Kesenian Bali (PKB).

Koreografer Sardono W. Kusumo yang sempat memberikan sentuhan kreatif pada Wayang Wong Tejakula ketika melawat ke luar negeri pada 1980-an, juga berkiblat dari lakon “Kumbakarna Antaka.” Ruang kreativitas seni pertunjukan Bali telah mengeksplorasi kegagahberanian Kumbakarna pada masa penjajahan Belanda.

Sekitar tahun 1930-an, tersebutlah I Limbak, seorang pemuda Desa Bedulu, Blahbatuh, memerankan tokoh Kumbakarna dalam sebuah pentas Cak. Sejatinya, kegagahperkasaan Kumbakarna yang kepahlawanannya mengharukan, pada umumnya terinternalisasi melalui pertunjukan Wayang Kulit yang lakonnya bersumber dari epos Ramayana. I Ketut Madra (almarhum), salah satunya, dalang masyur dari Desa Sukawati, sering mementaskannya pada tahuan 1970-an.

Baca juga:  Revitalisasi dan Regenerasi Pengawas Sekolah

Sebuah pementasannya bertajuk “Kumbakarna Lina” di Desa Singapadu pada tahun 1977, sempat didokumentasikan secara audio dan dibukukan oleh I Made Bandem dkk. dengan judul Wimba Wayang Kulit Ramayana (I Ketut Madra), tahun 1982. Kini, dalang Wayang Cenkblonk (I Wayan Nardayana) mengaktualisasi
lebih luas kepahlawanan Kumbakarna dalam kemasan seni pedalangan tradisi-modern ke penjuru Bali.

Bahkan lakon “Kumbakarna Lina” sajian Wayang Cenkblonk dapat disimak di media digital Youtube. Selain dalam ungkapan seni pertunjukan, kepahlawanan Kumbakarna, tidak sedikit yang dituangkan secara visual oleh para senirupawan Bali. Para pelukis klasik Kamasan, Klungkung, sangat intim dengan tokoh Kumbakarna.

Cara maestro I Nyoman Mandra (almarhum) dalam melukiskan kematian tragis Kumbakarna dikeroyok ribuan kera sungguh detail nan mengagumkan. Sementara itu dalam bentuk seni patung yang terpajang di ruang publik, juga dijumpai di sejumlah tempat strategis.

Sebelum Taman Budaya Bali dikenal luas seperti sekarang, salah satu objek yang menarik perhatian di sana adalah patung kayu “Kumbakarna Karebut” setinggi lima meter
karya pematung Wayan Nyungkal (almarhum) yang berdiri sejak tahun 1975 di sebelah utara sungai. Sekarang, dengan media non kayu, patung kisah kepahlawan Kumbakarna juga berdiri menjulang di Kebun Raya Bali, Bedugul, Tabanan dan juga mendongak megah di DTW Sangeh, Badung.

Baca juga:  Taman Hijau di Perkantoran

Seniman Bali memiliki daya kreativitas dan imaji estetik yang tinggi dalam menggarap kepahlawanan Kumbakarna. Pada tahun 2013, dalam sebuah Festival Ramayana Internasional yang digelar di panggung Candi Prambanan, Yogyakarta, adegan gugurnya Kumbakarna yang ditampilkan sendratari Sanggar Paripurna, Gianyar, mengundang decak kagum penonton serta kontingen dari India, Thailand, Kamboja, Myanmar, Malaysia dan Filipina.

Dan, sementara itu, belakangan, seorang seniwati Bali, Ni
Putu Putri Suastini Koster, sering menampilkan kisah heroik Kumbakarna dalam presentasi seni kontemporer, puisi “Sumpah Kumbakarna” karya Dhenok Kristianti dengan interpretasi pentas ekspresif menggugah.

Penulis, Pemerhati Seni Budaya, Dosen ISI Denpasar

BAGIKAN