DENPASAR, BALIPOST.com – Jumlah penduduk berusia produktif yang lebih besar dibandingkan nonproduktif menjadi penanda penting era bonus demografi. Dengan persentase penduduk produktif lebih dari 50 persen, Bali termasuk telah memasuki era bonus demografi.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) seharusnya menjadi fokus pemerintah, agar bonus demografi Bali memberi keuntungan ekonomi. Demikian disampaikan Akademisi Kependudukan Unud IGN Murjana Yasa, Akademisi dari Undiknas Prof. Gede Sri Darma dan Akademisi UHN IGB Sugriwa Wardana Yasa, Kamis (24/11).
Murjana Yasa mengatakan, Indonesia dan juga Bali khususnya saat ini memiliki keunggulan dari sisi proporsi penduduk usia produktif. “Berdasarkan data hasil Sensus Penduduk 2020 lebih dari 70 persen penduduk Bali tergolong usia produktif, dan angka ketergantungan penduduk menurut umur yaitu penduduk usia belum produktif dan tidak produktif berada di bawah 50 yang berarti Bali sebenarnya sudah sejak 2020 telah masuk kategori sebagai provinsi yang berada pada Era Bonus Demografi,” katanya.
Era bonus demografi ditandai dengan angka ketergantungan penduduk menurut umur berada di bawah 50. Saat ini, angka ketergantungan penduduk Bali 42,61. Artinya setiap 100 penduduk produktif menanggung sebanyak 43 penduduk belum dan tidak produktif. Dalam kaitan dengan penguatan kualitas SDM, inilah eranya mereorientasikan pola pengeluaran ke arah peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi kreatif dan produktif.
Era bonus demografi ini diestimasi akan berakhir sekitar tahun 2035. Menurut Murjana Yasa, setidaknya ada dua hal yang menjadi fokus penting, yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pengiatan sektor riil. Keduanya saling terkait satu sama lainnya.
Untuk mengoptimalkan pemanfaatan jendela peluang untuk memetik bonus demografi, maka investasi pada sumber daya manusia menjadi prioritas penting. Keberhasilan menguatkan kualitas SDM saat ini juga akan berdampak pada kualitas SDM lansia yang sehat kreatif dan produktif di era emas 2045.
Prof.Sri Darma mengatakan, berdasarkan data Human Development Index Indonesia yang masih rendah dibandingkan negara lain, menyebabkan SDM Indonesia kalah bersaing dengan negara lain. Namun wacana yang sempat digaungkan dulu oleh pemerintah, yaitu revolusi mental diharapkan juga ditindaklanjuti dengan aksi nyata.
Menurut Sri Darma, perlu penguatan karakter untuk SDM Bali agar dapat bersaing dan unggul. Ada tiga kategori penguatan karakter yaitu, formal adalah penguatan karakter yang dilakukan di sekolah, informal adalah penguatan karakter dilakukan di keluarga sedangkan penguatan karakter nonformal dilakukan di lingkungan masyarakat. “Masalahnya penguatan karakter hanya
diserahkan ke sekolah, tanpa ditindalanjuti di keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Jadi ini harus digaungkan bersama,” ujarnya.
Menurut Wardana Yasa, salah satu wujud nyata dari masih kurangnya masyarakat Bali berkarakter adalah minimnya minat generasi muda untuk berwirausaha. Masyarakat Bali tidak berorientasi menjadi pengusaha karena faktor lingkungan masyarakat, merasa bangga, nyaman, bergengsi jika menjadi PNS.
Apalagi ketika bergaul dengan masyarakat setempat, maka faktor pekerjamempengaruhi mindset seseorang untuk menilai derajat atau gengsi seseorang. Itulah sebabnya, menjadi wirausaha masih belum menjadi minat utama masyarakat Bali. Padahal jika usaha yang dilakukan dengan baik, penghasilannya bisa melebihi PNS. (Citta Maya/balipost)