Krama Desa Adat Banda mengikuti Ngaben Kinembulan. (BP/Istimewa)

GIANYAR, BALIPOST.com – Tradisi adat Hindu di Bali tidak bisa terlepas dengan upacara ngaben alias bakar mayat atau kremasi. Belakangan ini prajuru desa adat dan panitia berupaya mencari solusi agar biaya ngaben bisa ditekan seirit mungkin, namun tidak mengurangi makna upacara ngaben itu sendiri. Seperti apa yang dilakukan Desa Adat Banda, Blahbatuh, Gianyar.

Desa Adat Banda kini menggunakan sistem kinembulan untuk acara manusia yadnya ngaben. Kinembulan secara harafiah artinya kemulin, keroyokan dalam artian meringankan beban bagi yang punya hajatan ngaben. Bahkan Desa Adat Banda sudah empat kali menggelar ngaben massal menggunakan sistem kinembulan. Sebab biaya bisa ditekan, seirit-iritnya sehingga meringankan beban pemilik hajatan.

Baca juga:  Puluhan Pengungsi Kembali ke Posko Sutasoma

Bendesa Adat Banda, I Wayan Balik mengatakan dulu sebelum ada ngaben kinembulan, Desa Adat Banda gelar ngaben di masing-masing (soang-soang) rumah pemilik sawa atau jasad. Namun, setelah sulinggih Ida Pedanda Gede Gunung memberikan dharma wacana di Desa Adat Banda salah satu materinya soal ngaben kinembulan dan tidak mengurangi makna ngaben sehingga Desa Adat Banda mencoba menerapkan ngaben kinembulan sejak tahun 2013 lalu.

Alhasil, semua warga, khususnya pemilik hajatan merasa diringankan. Dikatakan, Desa Adat Banda gelar ngaben massal setiap tiga tahun sekali. Sehingga dicoba ngaben
kinembulan sejak tahun 2013 hingga tahun 2022 ini sudah
sebanyak empat kali Desa Adat Banda gelar ngaben kinembulan. Yakni tahun 2013, 2016, 2019 dan 6 Oktober 2022 lalu.

Baca juga:  Desa Adat Sangket Rencanakan Renovasi Pura Mengening

Dikatakan, dalam ngaben kinembulan ada beberapa sarana prasarana bebantenan dapat digabung seperti banten
soroan, ayaban dan banten lainnya. Meskipun di Desa
Adat Banda terdiri dari banyak klan dan wangsa termasuk ada kaum Brahmana. Waktu ngaben kinembulan Oktober 2022 terdapat 48 sawa.

Bagi, warga yang Ngaben pemilik satu sawa mulai ngaben hingga ngajum, nyekah ngalinggihang” dikenakan Rp7,2 juta. Bila dalam satu keluarga ada lebih dari satu sawa dikenakan tambahan biaya lagi setengahnya atau sekitar Rp3,6 juta.

Baca juga:  Anak-anak Diajak Peduli Konservasi lewat Perayaan Hari Orangutan dan Hari Gajah Sedunia

Dikatakan, pihak pemilik sawa tidak merasa berat selain karena sistem ngaben kinembulan krama Desa Adat
Banda dikenakan ‘patus” urunan masing-masing Rp100
ribu/KK. Sementara bantuan dari Pemkab Gianyar, khususnya program Bupati Gianyar, Made Mahayastra membantu rp2 juta/sawa sehingga Desa Adat Banda mendapat bantuan mencapai Rp48 juta dari Bupati Mahayastra.

“Rencana awal masing-masing pemilik sawe bayar Rp7,2
juta, namun setelah nyekah, malinggih ada dana sisa,
kemudian kita kembalikan lagi sekitar Rp2 juta sehingga
pemilik sawa menghabiskan dana Rp5 juta,” kata Bendesa
Adat Banda. (kmb/balipost)

BAGIKAN