Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Secara hierarkhis biologis, dan relevan dengan rujukan teologis, Tuhan mencipta makhluk, mulai dari tumbuh-tumbuhan berunsurkan eka pramana (bayu = hidup bertumbuh). Menyusul makhluk hewan dengan kelengkapan dwi pramana (bayu dan sabda = unsur suara), baru kemudian manusia, sebagai makhluk sempurna, lengkap dengan bekal Tri Pramana (bayu, sabda dan idep = kemampuan berpikir).

Keberadaan makhluk tumbuhan sebagai ciptaan pertama menjadikannya secara struktur teologi lokal menempati posisi sebagai ‘kaki-nini’ (kakek-nenek), lalu makhluk hewan adalah ‘anak’ dan manusia itu sendiri selaku ‘cucu’. Inilah yang saat ritual Tumpek Bubuh berlangsung disebut-sebut namanya dengan ucap doa (sehe): kaki-kaki, nini-nini malih slae dina Galungan, mabuah pang nged nged nged –semacam doa pengharapan agar menjelang hari suci besar Galungan, segala kebutuhan material upacara/upakara terutama dari unsur tumbuhan/pepohonan, khususnya buah-buahan tersedia sebagaimana mestinya.

Tumbuh-tumbuhan/pepohonan dalam istilah Bali sering disebut entik-entikan. Supaya mau mentik – tumbuh berkembang tentunya wajib dirawat dengan baik (becik), apik dan resik. Sehingga pada saat diperlukan terkait pemenuhan bahan ritual hasilnya tinggal dipetik
(pipik/pikpik), mulai dari daun (patram), bunga (puspam) hingga buah (phalam).

Baca juga:  Gempa Mengguncang Bali di Hari Suci "Tumpek Pengatag," Ini Maknanya

Gumi Bali pun tidak akan paceklik (krisis-kritis) sumber daya hayati, apalagi sampai mendatangkan dari luar daerah, seperti janur/busung, slepan, bunga, kelapa, dll.
Dengan demikian ritual Tumpek Bubuh, dilaksanakan setiap 210 hari sekali pada Saniscara Kliwon wuku Wariga,
tidak hanya dipahami secara teologi sebagai persembahan (haturan bhakti) ke hadapan Sangkara — dewanya tumbuh-tumbuhan.

Tidak juga dimengerti dari sisi filosofi sebagai cetusan rasa terima kasih atas berkah anugerah Tuhan Sang Pencipta berupa sarwa entik-entikan. Lebih penting lagi dimaknai sekaligus diimplementasikan sebagai momentum bangkitnya kesadaran lingkungan, demi keberlangsungan hidup dan kehidupan segenap makhluk di muka bumi ini.

Betapapun tingginya nilai aktivitas ritual Tumpek Bubuh, tetap saja masih berada pada tataran simbolik. Diperlukan transformasi makna luhurnya ke dalam perilaku unggul.

Alurnya, setiap ritual yadnya (Acara), mesti bergerak dari tatanan teologis-filosofis (Tattwa) menuju dan menjadi tuntunan perilaku etis (Susila). Tak ubahnya seperti tumbuhan, elemen tattwa (substansi ajaran) adalah pohonnya, ornamen ritual (unsur material) bagaikan bunganya, sedangkan instrumen susila (esensi) sebagai
buahnya, yaitu sikap dan perilaku yang selaras dengan makna di balik setiap simbol.

Baca juga:  Perhutanan Sosial dan Pariwisata Bali

Sebesar apapun tingkatan ritual yadnya, jika masih stagnan bermain di level ritualistik tanpa praktik kongkret
ke arah behavioristik, entik-entikan yang diharapkan mentik, tumbuh berkembang tak lebih hanya sebatas doa-doa simbolik.

Begitupun ketika rerainan Tumpek Bubuh dikorelasikan dengan konsep adiluhur Sad Kertih, terutama Wana Kertih
sesuai Instruktsi Gubernur Bali No 13/Tahun 2022. Sepanjang masih berupa regulasi tanpa impresi dalam aktualisasi, jangan bermimpi keberadaan hutan beserta segenap tumbuh-tumbuhan/pepohonan yang berfungsi alami sebagai penyerap/penyimpan air, dan penyangga
ekosistem sekaligus paru-paru dunia akan ajeg serasi, harmoni dan lestari.

Hutan yang dalam konsep Hindu sejatinya adalah bagian vital dari semesta — sarwam idham khalu Brahman,
sepatutnya melahirkan spirit kecintaan terhadap alam beserta segala isinya. Penghayatannya, bahwa alam ini sesungguhnya Tuhan itu sendiri. Jika sampai menyakiti, apalagi merusak alam, termasuk tumbuh-tumbuhan/pepohonan sama artinya dengan melawan hukum rta (kodrat) — menentang kehendak-Nya sekaligus “melukai” Tuhan.

Baca juga:  Tumpek Bubuh Bukan Ritual Sulap

Kutipan kitab Ishavasya Upanishad 1 dari Shukla Yajur Veda menyuratkan, Ishavasyam idam sarvam — seluruh
alam semesta ini harus dipandang sebagai Tuhan. Sedangkan Atharva Veda 12.1.12 menyatakan, Mata Bhoomih: Putro Aham Pruthivayah. — Ibu Pertiwi
ini adalah Ibu kita bersama dan kita semua adalah putra-putri dari Ibu ini.

Sudah saatnya, ritual Tumpek Bubuh ditransformasi, tidak lagi sebatas aktivitas ritual simbolik tetapi meluas ke dalam bentuk praktik ngentikang sarwa entik-entikan – menumbuh-lestarikan berbagai aneka jenis tumbuh-tumbuhan/pepohonan. Sehingga tidak saja saat
menjelang Galungan bisa dipetik hasilnya, jika mungkin sepanjang kehidupan berlangsung tetap terawat, terpelihara dan terjaga kelestarian segenap sumber daya hayatinya. Prinsip Tumpek Bubuh: entik-mentik baru dipetik.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN