Dr. I Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah disahkan. Pro kontra pun mengiringi undang-undang yang paling lama menjalani proses pembahasan ini. Dampaknya bagi Bali juga pasti akan dirasakan. Selain pasal perzinahan yang mengancam pariwisata, juga ada soal diakuinya hukum adat dan ancaman pidana bagi penjual minuman keras.

Terlepas dari pro dan kontra, KUHP yang baru saja
disahkan menjadi hal yang patut diapresiasi mengingat
Indonesia akhirnya memiliki. KUHP yang bukan warisan
penjajah. Selain itu, dalam KUHP terbaru juga terdapat
sejumlah terobosan penting.

Diantaranya soal diakuinya keberadaan living law (hukum adat) dan konsep pemidanaan yang tidak sekadar membuat efek jera berupa hukum penjara.
“Dalam KUHP yang baru, konsep pemidanaan tidak
hanya soal penjara badan, melainkan ada sanksi lain
seperti kerja sosial dan restoratif justice,” kata Dekan
Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Dr. I Ketut
Sukawati Lanang P Perbawa.

Baca juga:  Empat Sapi Hamil Hilang dari Kandangnya 

Hal ini juga menjadi bukti bahwa KUHP yang sekarang
telah mengikuti pendekatan hukum terkini yang berlaku di negara demokrasi modern. Berbeda dengan KUHP lama yang lebih menekankan pada hukuman penjara badan dan denda belaka.

Diakui bahwa pasal soal perzinahan dan kohabitasi
(kumpul kebo) menimbulkan gejolak, terutama di Bali
sebagai daerah pariwisata. Namun jika isu ini dinasionalisasi, tetap akan menimbulkan pro kontra karena Indonesia itu amat majemuk.

“Beberapa daerah seperti Bali mungkin marak penolakan. Tetapi daerah lainnya seperti di Sumatera dan Aceh, lebih mendukung,” ujar Lanang Perbawa.

Menyoal sisi positif KUHP lain yakni diakuinya hukum adat, Lanang menyebut sebagai sebuah kemajuan. Dalam KUHP yang baru ada kasus-kasus yang tidak hanya didekati dengan hukum positif negara melainkan
juga melalui hukum adat yang masih berlaku.

Baca juga:  Kumulatif COVID-19 Bali Lampaui 13.000 Orang

Dalam konteks ini, Bali tentu akan menerima manfaatnya mengingat masih ada hukum adat tertulis dalam bentuk awig-awig yang dapat digunakan.

Hal senada disampaikan I Ketut Alit Priana Nusantara, seorang praktisi hukum yang berprofesi advokat. Mulai diakuinya living law dalam KUHP menjadi salah satu kemajuan hukum pidana di Indonesia. Dalam konteks ini
ada banyak Pekerjaan rumah yang harus dituntaskan hingga KUHP ini berlaku penuh tiga tahun lagi. “Pekerjaan besarnya adalah bagaimana merumuskan
hukum adat mana yang akan digunakan dan diakui, mengingat hukum adat di Bali saja bisa sangat banyak dan bera￾gam,” tegasnya.

Di sisi lain, Alit Nusantara mengingatkan pasal lainnya dalam KUHP yang juga perlu menjadi perhatian yakni terkait minuman keras. “Ada sanksi pidana bagi mereka yang menjual minuman keras kepada mereka yang berada dalam kondisi mabuk,” kata Alit.

Baca juga:  Kebocoran Jaringan PDAM Klungkung di Atas Standar Nasional

Mengingat di Bali kondisi penjualan minuman keras
relatif lebih permisif, sanksi hukum dari KUHP perlu menjadi perhatian lebih. Baik Lanang maupun Alit Nusantara sepakat bahwa setelah pengesahan KUHP, ada banyak hal yang harus dituntaskan.

Mulai dari soal sosialisasi hingga membuat peraturan turunannya. Selain itu, masyarakat juga perlu membaca
dan memahami lebih dalam setiap pasal dalam KUHP.
“KUHP telah menjadi pembahasan sejak tahun 1960-an. Ini menunjukkan bahwa banyak perdebatan telah
dilalui. Jika saat ini berhasil disahkan, ini menjadi sebuah terobosan hukum. Hanya saja perlu dilakukan sosialisasi dan pemahaman mendalam untuk
implementasinya tiga tahun lagi,” kata Lanang. (Winata Nyoman/balipost)

BAGIKAN