DENPASAR, BALIPOST.com – Meningkatnya wisatawan yang datang ke Bali saat Liburan Akhir tahun saat ini justru perlu diwaspadai. Pasalnya, pasokan beras sedang menunjukkan tren penurunan.
Saat kebutuhan beras meningkat tajam sementara pasokan menurun, maka harga akan melambung hingga memicu inflasi. Selain beras, produk hortikultura, harga BBM dan canang sari juga rentan memicu inflasi. Demikian disampaikan Gubernur Bali, Wayan Koster, saat High Level Meeting (HLM) TPID Provinsi Bali, Jumat (16/12) di Ruang Rapat Gedung Gajah Rumah Jabatan Gubernur Bali.
Koster menyampaikan isu strategis yang perlu diwaspadai, yakni penurunan pasokan beras dan produksi hortikultura (bawang merah, cabai, tomat), peningkatan wisatawan menjelang libur akhir tahun, kenaikan harga BBM non subsidi, serta tingginya permintaan canang sari pada Desember 2022 menjelang hari raya Kuningan dan Galungan.
Dikatakannya, permasalahan inflasi volatile food dapat terkendali sepanjang suplai bahan pangan tersedia dan mata rantai distribusi dapat dipersingkat. Oleh karenanya diperlukan peran Perumda sebagai offtaker untuk memotong biaya distribusi sejak dari petani atau pemasok hingga ke konsumen.
Dalam hal ini Gubernur Bali juga menyampaikan rencananya untuk memperkuat peran Perumda Provinsi sebagai offtaker untuk pengadaan pangan di level provinsi. Koster juga menekankan kembali perlunya kerja sama antarpemerintah kabupaten dan kota tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan pangan dalam rangka pengendalian inflasi, tetapi juga untuk mendorong pemanfaatan produk pangan lokal dalam rantai pasok Provinsi Bali seperti beras Tabanan.
Guna meningkatkan produksi beras Tabanan, Pemerintah Provinsi telah menyiapkan program untuk meningkatkan kapasitas penggilingan gabah di Tabanan. Di samping itu, Pemerintah Provinsi Bali juga siap mendukung realisasi BTT dari kota/kabupaten untuk pengendalian inflasi.
Sesuai dengan arahan Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) Pengendalian Inflasi Balinusra, pemerintah daerah di Bali harus melaksanakan 6 upaya pengendalian inflasi, yaitu operasi pasar, sidak ke pasar dan distributor, kerja sama dengan daerah penghasil, gerakan menanam, menggunakan dana Belanja Tidak Terduga (BTT), dan subsidi transportasi dari APBD.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali, Trisno Nugroho menyampaikan bahwa Provinsi Bali menduduki urutan inflasi tertinggi ke-6 yaitu 6,62% (yoy), urutan ke-9 yaitu 0,28% (mtm), urutan ke-11 yaitu 5,69%, (ytd). Lebih lanjut, di samping komoditas hortikultura yang perlu diwaspadai juga adalah harga canang sari.
Untuk pengendalian inflasi ke depan Bank Indonesia memberikan rekomendasi jangka pendek yakni, memperkuat fungsi perumda pangan sebagai offtaker diantaranya dengan mendorong pembiayaan dengan BPD Bali, mengoptimalkan SiGapura sebagai pusat informasi pergerakan harga (dan memperkuat akurasi data neraca pangan, diantaranya dengan menambahkan data arus keluar masuk komoditas dari dan ke Bali.
Selain itu, Bali juga perlu melanjutkan gerakan menanam cabai / bawang, komunikasi kepada masyarakat perlu terus diperkuat(contoh: penggunaan televisi/running text di pasar), percepatan implementasi perda No. 10 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi, optimalisasi penggunaan lahan tidur milik pemerintah daerah, utamanya untuk hortikultura.
Trisno juga menyampaikan rekomendasi jangka menengah/panjang, yaitu, memperkuat branding dan meningkatkan penggunaan produk pangan lokal Bali, pembentukan BUMD Pangan bagi kabupaten yang belum memiliki sebagai operator pelaksana KAD secara profesional, pembagian (spesialisasi) fungsi offtaker BUMD berdasarkan komoditas unggulan di Bali, pembentukan Pasar Induk di Bali, peningkatan suplai dan produktivitas lahan melalui digital farming di sisi hulu untuk bahan pangan. Hiilirisasi komoditas hortikultura dalam rangka menjaga stabilitas harga dan menjaga nilai tukar petani, pengadaan dan optimalisasi CAS. (Citta Maya/balipost)