Stephen Coleman (tiga kiri) bersama produser dan pemain "Segara Gunung" saat preview babak I film itu, Selasa (20/12). (BP/iah)

DENPASAR, BALIPOST.com – Terlahir dari seorang ibu berusia 70 tahun, Nengah Puspayasa bisa dibilang merupakan keajaiban yang hanya mampu dianugerahkan oleh Tuhan kepada umatnya. Pria yang akrab disapa Pak Puspa ini merupakan warga Desa Kelecung, Tabanan.

Kisah hidupnya yang diawali dengan keajaiban ini menarik minat sutradara asal Kanada, Stephen R. Coleman untuk mengangkatnya ke layar lebar. Dalam penayangan preview babak I film “Segara Gunung” yang dilakukan di Dharma Negara Alaya, Selasa (20/12), Stephen mengutarakan ketertarikannya membuat dokumenter Pak Puspa.

Ia mengatakan film dokumenter yang diproduksi Lex Film ini digarap selama 3 tahun. “Ketika saya pertama kali berkunjung ke Kelecung, saya merasakan sesuatu yang magis tentang tempat ini. Saya telah menemukan jawabannya setelah bertemu dengan teman saya, Pak Puspa,” demikian Stephen mengutarakan alasan di balik pembuatan film ini.

Baca juga:  Tambahan Kasus COVID-19 Bali Makin Melandai

Di tengah perjalanan mengambil gambar untuk film ini, Pak Puspa meninggal dunia pada 17 Januari 2021. Hal ini membuat Stephen memutuskan mendedikasikan film ini pada kisah hidup Pak Puspa.

Dalam preview yang berdurasi sekitar 3 menitan itu, dikisahkan perjalanan hidup Pak Puspa yang lahir dari seorang perempuan berusia 70 tahun. Ia sempat menempuh D1 di IKIP Malang dan kemudian balik ke desanya. Puspa juga fasih berbahasa Inggris karena pernah bekerja di Kuta sebagai pengurus penginapan yang tamunya merupakan wisatawan asing.

Baca juga:  Selidiki Meninggalnya Mantan Kepala BPN, Ini Kata Direktur Reskrimum

Diceritakan pula, Pak Puspa yang memutuskan memeluk agama Kristen dan menikah dengan seorang perempuan dari luar Bali. “Rencananya film ini akan diputar di seluruh Indonesia pada Maret 2023,” jelasnya.

Salah seorang anak Pak Puspa yang juga produser dari film ini, Aniek Puspawardani mengungkapkan film dokumenter ini sangat bermakna bagi diri dan keluarganya. Sebab, ajaran dan peninggalan sang ayah tentang kehidupan bisa abadi lewat film ini. “Film ini mengisahkan tentang kehidupan. Meski Pak Puspa sudah meninggal, namun ajaran maupun warisan tentang kehidupannya tidak berhenti. Legacy itu tetap ada dan memberikan arti tersendiri bagi orang-orang yang ditinggalkan,” ungkapnya.

Dokumenter ini menyajikan pemandangan indah Desa Kelecung yang terletak di antara gunung dan pantai (nyegara gunung). Aktivitas keseharian masyarakatnya yang guyub dan toleran terhadap perbedaan juga dipotret dalam film ini yang gambar-gambarnya diambil saat Bali sedang dilanda pandemi COVID-19.

Baca juga:  Pertemuan Jurnalis ASEAN Digelar di Kuta

Stephen punya pandangan sendiri soal pengambilan gambar saat pandemi ini. Ia menilai, pandemi justru membuatnya lebih mudah dalam mengambil gambar karena Bali ketika itu sepi wisatawan. “Tak ada hambatan berarti yang saya rasakan saat mengambil gambar di tengah pandemi. Justru pandemi membuat saya bisa dengan tenang mengambil gambar karena kondisi Bali yang sepi wisatawan. Sehingga budget untuk film ini pun bisa ditekan,” ungkapnya. (Diah Dewi/balipost)

BAGIKAN