Pelabuhan Sanur, Denpasar. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali mencatatkan kemajuan pembangunan infrastruktur yang sangat pesat. Hingga akhir tahun 2022, sejumlah infrastruktur monumental telah dan sedang dalam proses pembangunan. Hebatnya, hal ini terjadi di tengah kondisi keuangan global yang tertekan akibat pandemi. Fundamental Bali yang maju di masa depan telah diletakkan untuk mewujudkan kesejahateraan krama Bali.

Guru Besar Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana, Prof. Putu Rumawan Salain, mengakui sampai dengan pengujung tahun 2022 di Pulau Bali ini pembangunan di pelbagai sektor mengalami kemajuan yang luar biasa walaupun kesulitan pendanaan sedang berlangsung di seluruh dunia.

Hebatnya di Bali melakukan investasi masa depan melalui pembangunan proyek fisik yang dapat disebut sebagai proyek monumental untuk menyongsong masa depan ketika situasi diharapkan kian membaik. Belanja proyek fisik yang berupa proyek monumental sangat membantu masyarakat pencari kerja sehingga efek multiplier dapat berlangsung.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Warmadewa (FH Unwar), Prof. Dr. I Nyoman Putu Budiartha, S.H., M.H., mengatakan pembangunan infrastruktur monumental yang telah dibangun oleh Pemerintah Provinsi Bali tiada lain untuk mendukung pembangunan kepariwisataan berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat Bali ke depannya.

Namun, membangun kepariwisataan berkelanjutan di Bali sangat penting membutuhkan instrumen hukum lingkungan. Sebab, lingkungan sangat berdampak kepada persoalan ekonomi, pelestarian budaya masyarakat, dan sumber daya alam lingkungan.

Rumawan menyebutkan, tujuan pembangunan infrastruktur fundamental dan monumental di Bali bermanfaat untuk menampung berbagai kebutuhan mendatang, juga ditujukan untuk membuka ataupun mengembangkan kawasan di sekitar lokasi proyek dan tentu juga membangun perekonomian kini dan mendatang. Sedangkan dari sisi geopolitik ada maksud-maksud untuk penyebaran dan sekaligus pemerataan pembangunan di wilayah Bali, sekaligus kemudahan aksesbilitas.

Baca juga:  2024, Denpasar Fokus Garap Infrastruktur

Prof. Rumawan berharap infrastruktur yang dibangun dapat bermanfaat sepenuhnya bagi pengusaha-pengusaha lokal sesuai dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kebijakan Jasa Konstruksi Di Bali.

Di samping itu, sangat diharapkan agar tidak terjadi pembangunan di suatu tempat berakibat kerusakan lingkungan bagi desa tetangga. Misalnya, dalam hal bahan urugan, sehingga berkah di suatu tempat tidak menjadikannya masalah bagi tempat galian bahan urugan. Terlebih-lebih lagi galian tersebut belum atau tidak memiliki izin.

“Mari bangun Bali sesuai dengan Visi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’ untuk Bali era baru. Selamat untuk Pemprov Bali atas beragam prestasi yang sudah dan sedang berlangsung, diharapkan adanya konsistensi, sinergi, dan kesinambungan dengan tidak melupakan akar budaya Bali yang dilandasi oleh budaya agraris,” tandas Prof. Rumawan Salain.

Soal pembangunan agar tidak merusak lingkungan didukung Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Warmadewa (FH Unwar), Prof. Dr. I Nyoman Putu Budiartha, S.H., M.H. Menurutnya, organisasi pariwisata dunia telah mengingatkan pembangunan pariwisata berkelanjutan harus memperhatikan 4 pilar. Di antaranya, harus adanya pengelolaan destinasi pariwisata berkelanjutan, harus ada peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat, harus ada pelestarian dan pengembangan kebudayaan, dan harus memperhatikan pelestarian lingkungan hidup. Apalagi, 4 pilar ini telah dituangkan dalam Undang-Undang Pariwisata Nomor 10 Tahun 1999 tentang Pariwisata.

“Apabila kelestarian lingkungan hidup tidak diperhatikan dalam membangun kepariwisataan berkelanjutan, maka akan berdampak pada pembangunan pariwisata ke depannya. Turis tidak akan datang, bahkan daya dukung pariwisata akan menurun yang akan mempengaruhi pariwisata itu sendiri,” tegas Prof. Budiartha.

Baca juga:  Masuk Kawasan PPKT, Pemkab Genjot Pembangunan Infrastruktur di Nusa Penida

Prof. Budiartha, mengatakan untuk mendukung pembangunan kepariwisataan berkelanjutan dibutuhkan instrumen hukum yang mendukung ke arah itu. “Yang tidak kalah penting adanya action dari pemerintah, siapa saja yang melanggar atau merusak lingkungan bisa melakukan gugatan lingkungan. Apalagi, lingkungan adalah sebagai subjek hukum, sebingga bisa menggugat siapa saja yang merusak, mencemari, tidak melestarikan lingkungan, maka bisa dihukum,” tandas Prof. Budiartha.

Oleh karena itu, penegakkan hukum lingkungan dan pariwisata terhadap pelanggaran lingkungan dalam membangun pariwisata berkelanjutan harus ditegakkan. Seperti, penegakan hukum agraria, pertambangan, perairan, tata ruang, dan lainnya. “Sumber daya alam dan lingkungan harus benar-benar dijaga, sehingga berfampak pada pertumbuhan ekonomi, pendidikan, budaya, dan seterusnya,” imbuhnya.

Prof. Rumawan Salain mengusulkan agar program pembangunan mendatang setelah berbagai infrastruktur, teknologi informasi, dan fasilitas kebudayaan rampung agar mulai merintis pembangunan pertanian dalam arti luas dengan sentuhan modernisasi dari awal sampai dengan pasca panen mengingat kebutuhannya sangat diperlukan bagi adat, agama, pariwisata, maupun keseharian masyarakat Bali. “Mari kita bangun dan kembangkan pertanian untuk kemuliaan-Nya dan kesejahteran umat. Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit jika engkau jatuh, engkau akan jatuh diantara bintang-bintang (Bung Karno). Semoga,” harapnya.

Memperpendek Jarak

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah Bali, Dr. Ir. I Made Rai Ridartha., ATD., M.Eng.Sc., Dipl.UG., ATU., mengakui bahwa Bali bukan wilayah yang luas dan terbatas lahan dalam konteks infrastruktur transportasi. Jaringan jalan yang sudah ada di Bali sudah cukup padat.

Tapi ada juga jaringan yang kurang. Terutama untuk memperpendek jarak, atau menyingkat waktu perjalanan khususnya yang menghubungkan Bali Selatan dan Bali Utara. “Pembangunan tol sama artinya  mempermudah atau menghilangkan titik berbahaya seperti tikungan, tanjakan, turunan dan lainya. Sekaligus memberikan ruang yang lebih nyaman bagi kendaraan barang. Bahkan pesepeda juga diberikan ruang di sana,” ucap Rai.

Baca juga:  Kemandirian Bali

Menurutnya, pembangunan infrastruktur di Bali sudah bagus. Dan yang menjadi tantangan saat ini adalah kondisi giometrik yakni tanjakan dan tikungan. Dari sisi keselamatan, memiliki resiko yang lebih besar jika dibandingkan jaringan jalan di Bali Selatan. “Sehingga kami menilai langkah pemerintah sudah tepat dalam membuat infrastruktur jalan. Yakni memperpendek jalan dengan cara memotong banyak tikungan menjadi garis lurus (short cut),” jelasnya.

Lantas, bagaimana dengan angka pertumbuhan kendaraan dibandingkan volume jalan yang ada di Bali? Rai Ridartha menyatakan inilah yang klasik yang sering dibicarakan.

“Yang sering dibicarakan adalah volume kendaraan dengan infrastruktur lalulintas. Sering orang mengatakan jalan macet, karena jaringan jalan kurang. Pertumbuhan kendaraan lebih besar dari volume jalan,” katanya.

Satu kunci dalam menjawab pertanyaan klasik itu, menurut Rai Ridartha adalah manajemen transportasi. Dijelaskan, dalam manajemen tranposrtadi itu bisa dilakukan pengaturan, baik soal permintaan kendaraan maupun soal pengaturan lalu lintas kendaraan.

“Artinya pada jalan di waktu tertentu tidak perlu dilalui oleh kendaraan yang tidak membutuhkan di area itu, maka kendaraan tersebut wajib dilarang melintas. Misalnya pada jam pagi, sedikit menbatasi kendaraan barang. Setelah jam sibuk di pagi hari,  baru bisa kendaraan barang bergerak. Nah ini yang kami sebut managemen transportasi itu,” ucap Rai.  (Winatha/Miasa/balipost)

BAGIKAN