Sejumlah produk kerajinan tangan khas Papua dari daur ulang sampah. (BP/Dokumen BRI)

JAYAPURA, BALIPOST.com – Berawal dari keprihatinan melihat sampah berserakan di sekitar wilayah konservasi hutan mangrove di Kampung Enggos Kota Jayapura, Provinsi Papua, Petronela (41) tertarik untuk mendaur ulang sampah tersebut menjadi kerajinan tangan. Pada 2005, dia menjadi salah satu anggota kelompok penghijauan hutan mangrove di wilayah konservasi.

Kelompok tersebut bertugas menanam dan menjaga lingkungan supaya tetap bersih. “Di Enggos banyak sampah, terus saya lihat sampah itu saya tertarik. Saya yakin sampah ini bisa menghasilkan sesuatu,” kata Petronela.

Banyak orang yang menganggap keberadaan sampah itu masalah. Namun, bagi dia sampah justru berkat. Dengan mengelola sampah yang dipungut menjadi sesuatu yang bernilai.

Sampah yang dipungut berupa plastik, botol plastik, kayu, kawat sisa kabel, bisa disulap sedemikian rupa menjadi berbagai kerajinan tangan yang dikolaborasikan dengan cangkang kerang, dan aksesoris Papua. “Sendok-sendok plastik bekas sendok makan itu bisa saya buat lampion. Kalau sampah kerang saya buat boneka, vas bunga, dan bermacam-macam kerajinan dari sampah lainnya,” ungkapnya.

Baca juga:  64 Persenan Pinjaman Mikro BRI Terdampak Aktivitas Gunung Agung

Seiring berjalannya waktu, dia membentuk kelompok usaha Ibayaw. Kelompok usaha ini mengkoordinir ibu-ibu di sekitar lingkungan yang juga memproduksi kerajinan tangan dari sampah. “Saya gunakan potensi yang ada untuk dikembangkan. Saya merasa terpanggil bagaimana bisa membawa ibu-ibu itu bisa produktif usaha dan tidak tergantung pada suami,” katanya.

Sebagai ketua kelompok usaha, dia bertanggung jawab mengakomodir, memantau, dan mencari partner kerja dari luar untuk mendatangkan alat dan bahan kerajinan.
Kelompok usaha ini dibentuk pada 2019, yang beranggotakan 15 orang. Dalam kelompok usaha ini, Petronela juga mengajak ibu-ibu, pensiunan perempuan untuk bergabung.

Baca juga:  Penjualan UMKM Bali Bangkit Tembus Rp 1 Miliar

Kelompok usahanya hingga kini mampu memproduksi berbagai produk kerajinan tangan, misalnya topi, anting, kalung, gelang, gorden, jepit rambut, vas bunga dan lainnya. Harga kerajinan tangan dijual dengan sangat terjangkau, dibanderol mulai dari Rp10.000 hingga yang termahal hanya Rp300 ribu untuk produk topi, gorden, dan vas bunga yang besar.

Sejauh ini, pihaknya telah mendapatkan bantuan dari dinas sosial, BRI, hingga Pemerintah Desa. Biasanya, bantuan tidak berupa uang tunai, melainkan alat dan bahan yang dibutuhkan. “Kalau dikasih uang digunakan untuk hal lain, kan kalau bahan dan alat bisa tinggal kita gunakan,” ujarnya.

Terkecuali bantuan dari BRI saat itu berupa uang tunai dan digunakan untuk modal kelompok usaha. Bantuan dari BRI sangat berarti karena pada awal mendirikan kelompok usaha bersama, Petronela merogoh kocek dari dompet sendiri.

Baca juga:  Permintaan Lesu, Harga Cabai Turun

Petronela mengungkapkan selama menjalankan kelompok usahanya banyak tantangan yang dihadapi, salah satunya pemasaran. Alasannya, karena belum ada nama merek bagi produknya, sehingga orang-orang masih ragu. Kabar baiknya, mereka sudah mengurus perizinan usaha saat ini.

“Pernah dari Jawa ada yang minta dibuatkan topi khas Papua. Teman-teman di Jawa mau pakai aksesoris Papua untuk tampil,” ujarnya.

Alhasil, dari menjual produk kerajinan, kelompok usaha Ibayaw mampu mengantongi penghasilan hingga Rp 15 juta ketika ada momen besar. Diketahui, Petronela merupakan nasabah BRI dengan pinjaman KUR Rp25 juta dan mendapat pembinaan dari BRI. (Adv/balipost)

BAGIKAN