Dr. I Gusti Agung Paramita, S.Ag., M.Si. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Identitas manusia Bali bukanlah terbentuk secara mandiri. Peran pihak eksternal (outsider) sangatlah besar. Mereka adalah para orientalis, kolonialis, misionaris dan penguasa orba. The outsider inilah yang mengkonstruksi identitas manusia Bali sesuai dengan konsepsi, imaji, identifikasi dan kategori mereka.

Hal tersebut diungap Akademisi Unhi Denpasar, Dr. I Gusti Agung Paramita, S.Ag., M.Si., saat promosi gelar doktornya di Denpasar, Selasa (27/12). Ia mengatakan genealogi politik identitas dalam masyarakat Hindu di Bali memiliki historical background yang cukup panjang. Secara historis masyarakat Bali tidak menjadi subjek dalam konstruksi atas identitasnya, melainkan ada peran pihak-pihak eksternal (outsider).

Pertama, kedatangan kelompok orientalis yang berupaya memasukkan kategori Hindu mereka terhadap kehidupan sosial religius masyarakat Bali. Mereka mengkategorikan masyarakat Bali sebagai penganut Hinduisme jauh sebelum orang Bali mengidentifikasikan dirinya sebagai penganut Hindu.

Kategorisasi dan identifikasi orientalis atas kehidupan masyarakat Bali ini diperkuat oleh kedatangan kelompok Greater India Society. Kedatangan kelompok ini mengukuhkan konstruksi identitas orientalis atas Bali dan berupaya menyusun kembali relasi kultural yang hilang antara Bali dan India. Upaya ini dilakukan dengan semakin intensifnya Bali didatangi para pakar sanskerta dan Hinduisme yang tertarik menyelami manuskrip kuno berbahasa Sansekerta di Bali.

Baca juga:  Kabar Baik, Tambahan Kasus COVID-19 Bali Turun ke Dua Digit

Kedua, kebijakan politik etis kolonial yakni baliseering (Balinisasi). Melalui kebijakan ini, pemerintah kolonial mengkonstruksi kebalian orang Bali dengan menggunakan unsur-unsur agama dan adat. Mereka mengajari bagaimana menjadi orang Bali yang sebenarnya. Orang Bali diminta untuk bergelut dalam aktivitas seni, budaya dan keagamaan yang membentuk identitas kebalian mereka. Kebijakan baliseering menampilkan kembali gaya berbusana Bali, bentuk arsitektural, tarian dan tata krama berbicara tradisional. Pendisiplinan kultural ini sangatlah berpengaruh pada pembentukan sikap dan mentalitas orang Bali yang selalu responsif, bahkan histeris pada isu-isu identitas dan agama.

Kebijakan ini dilanjutkan dengan mengafirmasi kembali sistem kasta di kalangan masyarakat Bali. Pada titik ini tampak adanya relasi kuasa, wacana orientalis dan indolog atas Bali bertemu dengan kepentingan hegemoni politik kolonial sehingga melahirkan sebuah kebijakan Balinisasi yakni upaya membentuk identitas Bali sesuai keadaan aslinya.

Pola politik identitas kolonial (mempromosikan kebudayaan Bali sebagai penanda identitas) ini dilakukan tidak hanya dengan maksud melestarikan tradisi, adat dan budaya Bali sesuai keasliannya, melainkan memiliki agenda lain yakni menghindarkan orang Bali dari radikalisme Islam, pengaruh pemikiran modern dan gerakan nasionalisme di Jawa. Selain itu, pihak kolonial juga berupaya memperbaiki citra kolonial pasca terjadi peristiwa berdarah Perang Puputan Badung tahun 1906.

Baca juga:  Tiga Zona Merah di Bali Sumbang Kumulatif Kasus di Atas 150 Orang

Ketiga, kedatangan kelompok missionaris dengan agenda mengkonversi orang Bali karena dianggap tidak memiliki identitas keagamaan yang jelas. Kelompok missionaris menuduh orang Bali memeluk animis primitif yang tidak berhubungan dengan Hindu. Tuduhan ini dijadikan dasar mereka ”membudayakan” orang Bali sesuai keinginan mereka. Inilah yang menyebabkan Bali menjadi medan politik identitas berbasis agama.

Bali menjadi medan pertarungan politik identitas antara kelompok orientalis, Islam dan Kristen. Sebelum Bali berhasil diislamkan karena tidak kuatnya pondasi keagamaan mereka, maka orang Bali harus di-Kristenkan. Di sini ada dua cara pandang berbeda melihat Bali sesuai dengan kepentingannya masing-masing, missionaris melihat agama Bali tidak murni Hindu bahkan cenderung klenik, sihir, dan lebih dekat pada mistisisme, sementara orientalis melihat agama Bali integral dengan Hindu, sehingga perlu ada upaya pelestarian. Dinamika politik identitas ini juga melibatkan intelektual lokal yang berada di dalam gerbong kelompok orientalis untuk melawan gerakan missionaris.

Baca juga:  Vokasi Diperbanyak, Guru Jangan Hanya Tahu Teori

Keempat, reproduksi identitas sebagai kebijakan politik Orde Baru. Genealogi politik identitas Bali juga bisa dilacak pada era Orde Baru. Ketika pemerintah Orde Baru berupaya memulihkan keadaan politik dan ekonomi nasional melalui kebijakan pariwisata, sangatlah berdampak serius pada masyarakat Bali. Pemerintah orde baru melalui jejaring kerjasama dengan pihak asing berencana menjadikan Bali sebagai pilot project pengembangan pariwisata nasional. Kebijakan ini didasari atas konstruksi identitas Bali era kolonial sebagai pulau surga yang tersohor di seantero dunia.

Pemerintah Orde Baru mengadopsi dan melanjutkan wacana identitas Bali era kolonial sebagai penopang bisnis pariwisata. Padahal, ada beberapa alasan kebijakan ini dilakukan. Salah satunya adalah menjadikan pariwisata sebagai sarana memulihkan kehormatan rezim pasca pembantaian tahun 1965. Hal ini mirip kebijakan balinisasi yang dikeluarkan pemerintah kolonial setelah tragedi Puputan Badung dan Klungkung. Pada titik ini pemerintah Orde Baru berupaya mereproduksi identitas Bali untuk kepentingan pengembangan pariwisata. (Winatha/balipost)

BAGIKAN