Suasana pelaksanaan pemilihan umum serentak, Rabu (17/4/2019). (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Jadilah kader dan dukung politisimu.  Jangan banyak protes apalagi menentang. Jika ini dilakukan, maka aliran bantuan sosial dan fasilitas lain akan menyusul baik atas nama dadia, sekeha, banjar dan perkumpulan profesi lainnya. Pemahaman ini nyaris menjadi cara pandang dan dikelola secara cerdas oleh rakyat memaknai pesta demokrasi. Bahkan strategi ini nyaris menjadi budaya.

Celakanya, ketika ini dibudayakan rakyat pun nyaris tak lagi punya ruang diplomasi ketika bansos sudah mengalir dan diterima atas nama loyalitas politik. Cara mengelola demokrasi yang mulai dibudayakan politisi nyaris menjadikan demokrasi hanyalah pesta kaum politisi. Beda pendapat pun tak lagi menjadi identitas demokrasi tetapi sebatas retorika.

Fakta bahwa tanpa dukungan politik yang jelas dan pasti, maka komunitas akan sulit mengakses dana-dana pemerintah yang oleh pemerintah dilabeli bantuan sosial. Amatlah susah menembus ruang dan tembok kekuasaan apabila di mata politisi penguasa, komunitas tertentu dianggap bukan kadernya. Yang lebih celaka ada komunitas yang dianggap bukan rakyatnya, karena kalah saat Pilkada. Ini memang ironis jika mengatasnamakan demokrasi. Membina pemilih dengan istilah kader dengan anggaran bansos layak dijadikan catatan khusus untuk bersama-sama secara bersinergi menuju demokrasi bermartabat dengan memberikan ruang pada rasionalitas dan logika. Rekam jejak politisi hendaknya menjadi rujukan.

Baca juga:  Lawan Narkotika dengan Menyanyi

Menyikapi fenomena politik dan dinamika demokrasi saat ini, dua akademisi yang sama-sama rekam jejak sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali mengutarakan pandangannya. Pengamat politik Universitas Warmadewa Dr. Drs. Anak Agung Gede Oka Wisnumurti, M.Si. dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Dr. Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa, S.H., M.Hum kepada Bali Post mengatakan politisi dan masyarakat memegang peran strategis untuk mewujudkan integritas demokrasi.

Wisnumurthi memaparkan politisi adalah salah satu aktor penting dalam perhelatan demoraksi. Politisi berkewajiban menjaga iklim politik yang kondusif. Oleh karena iklim politik yang kondusif akan menciptakan budaya politik akal sehat, dengan memberi ruang bagi masyarakat dan para politisi untuk mengekspresikan  gagasan dan program kerjanya secara dialogis. Apabila hal ini terwujud baik politisi maupun masyarakat akan mengurangi ongkos politik dan menekan bersemainya money politik. Maka dengan sendirinya akan melahirkan pemimpin yang kompoten dan paham akan permasalahan yang ada dan terjadi di Bali.

Baca juga:  Mahendra Jaya Desak Kasus Kebakaran Gudang Elpiji Tuntas ke Akarnya

Ketua Yayasan Korpri Provinsi Bali ini berharap semua elemen secara bersinergi bergerak mewujudkan demokrasi yang berkualitas, bermartabat dengan tingkat partisipasi yang tinggi untuk kemajuan Bali ke depan. Pendekatan politik dengan memberi ruang jelas pada aspirasi publik, sebagai pemegang hak pilih harus mengusung ruang dialogis yang jelas. Pemahaman atas beda pilihan dan cara menyuarakan dukungan politik  jangan selalu diartikan rivalitas.  Seni mengelola demokrasi hendaknya tetap memberikan penghormatan pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan memilih.

 

Menjadikan demokrasi sebagai proses melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang kredibel masih tersandera olah banyak hal. Lanang Perbawa, mantan Ketua KPU Bali ini mengatakan, saat ini ada tiga kategori pemilih dalam mengelola hak pilihknya. Pemilih yang yang cenderung tradisional kharismatik, transaksional dan rasional. Pemilih tradisional  cenderung terjebak pada komunitas adat, desa pakraman, sekeha dan guyup tradisinya dalam mengelola demokrasi. Pilihan kelompok adalah pilihan bersama. Ini tentu akan berdampak pada tersanderanya hak-hak politik personal.

Baca juga:  Jelang Pemilu 2024, Bawaslu Daerah Didorong Miliki Gakkumdu

Selain itu, ada kelompok pemilih yang terjebak berbasis client atau relasi. Pemilih kelompok ini cenderung menuju pola-pola transaksional dalam menggunakan pilihan politik. Jika kelompok ini menguat maka demokrasi jual beli akan menjadi budaya. Politik uang dalam demokrasi juga akan melahirkan pemimpin yang cenderung korup. Ini jelas akan menjauh dari spirit demokrasi bermartabat dan berintegritas.

Ke depan, terlebih pada momentum tahun politik 2024 mendatang krama Bali hendaknya menjadi pemilih rasional. Pemilih hendaknya menjadikan integritas calon dan rekam jejak kandidat sebagai rujukan untuk menentukan pilihan. Pilihan rasional akan menjadikan demokrasi berintegritas dan jauh dari proses transaksional. Langkah ke arah itu memang memerlukan waktu dan melibatkan banyak komponen. Tokoh masyarakat, masyarakat, elite politik dan pemerintah hendaknya berada pada visi yang sejalan untuk menyelamatkan demokrasi. Jika salah satu elemen menjauh dari rasionalitas dan mengedepankan transaksi dan jebakan bansos dalam mengelola demokrasi  maka stabilitas pesta demokrasi berpotensi mengalami hambatan. Potensi konflik juga akan menguat jika beda pilihan politik dianggap rivalitas. (Dira Arsana/balipost)

BAGIKAN