JAKARTA, BALIPOST.com – Angkutan Over Dimension Over Loading (ODOL) merupakan salah satu potensi bahaya pada angkutan penyeberangan. Penilaian tersebut disampaikan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
‘Dari sisi keselamatan transportasi, KNKT melihat pengoperasian truk ODOL ini selain berpotensi menimbulkan kecelakaan di jalan raya, ternyata juga membahayakan angkutan penyeberangan,” kata Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono dalam keterangan tertulis di Jakarta, dikutip dari Kantor Berita Antara, Jumat (30/12).
Sejak tahun 2019, lanjutnya, KNKT sudah menyoroti masalah truk ODOL dengan memberikan masukan kepada beberapa instansi, di antaranya Kementerian Perhubungan, Kementerian BUMN, Kementerian Perindustrian, dan Sekretariat Kabinet.
Dari catatan KNKT, ditemukan beberapa kecelakaan yang menjadikan kendaraan ODOL sebagai salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kecelakaan di kapal, diantaranya tenggelamnya kapal Windu Karsa di Perairan Kolaka pada 27 Agustus 2011, tenggelamnya Rafelia 2 di perairan Selat Bali pada 4 Maret 2016, kandas dan tenggelamnya kapal Lestari Maju di perairan Selat Selayar pada 3 Juli 2018, patahnya pintu rampa kapal Nusa Putra di Merak pada 27 Desember 2018, tenggelamnya kapal Bili di Sungai Sambas pada 20 Februari 2021, tenggelamnya kapal Yunicee di Perairan Selat bali pada 29 Juni 2021, dan kejadian terakhir adalah terbaliknya kapal Satya Kencana III di Pelabuhan Kumai pada 19 Oktober 2022.
Dalam kasus Tenggelamnya Kapal Yunicee yang mengakibatkan korban meninggal 11 orang meninggal dan 13 orang hilang, ditemukan salah satu faktornya adalah saat kapal bertolak dari Pelabuhan Penyeberangan Ketapang, jumlah muatan telah melebihi kapasitas (overload), sehingga benaman kapal (draft) mendekati geladak kendaraan. “Temuan KNKT dalam proses investigasi jumlah muatan berlebih tersebut salah satunya juga diakibatkan dari pengangkutan truk ODOL,” ungkapnya.
Lebih lanjut Soerjanto mengatakan keberadaan kendaraan ODOL di kapal berpotensi menyebabkan kerusakan pada struktur pintu rampa, geladak kapal, dan juga nosel alat pemadam. Tinggi muatan juga bisa menyebabkan radius sprinkler sembur menjadi tidak efektif.
Yang tak kalah membahayakan, lanjutnya, adalah jarak antar kendaraan di geladak kendaraan semakin pendek. Hal ini menyebabkan kesulitan akses bagi awak kapal pada saat melakukan penanganan kebakaran.
Dari sisi angkutan penyeberangan dalam hal ini kapal angkutan ODOL akan mempengaruhi berkurangnya kemampuan daya angkut kapal dari sisi jumlah unit kendaraan yang masuk.
Pada garis sarat yang sama, jumlah unit kendaraan berkurang karena berat kendaraan per unit sudah melebihi batas. Meningkatnya dimensi kendaraan membuat kapasitas angkut ruangan geladak kendaraan semakin berkurang.
Selain itu pemuatan kendaraan di atas geladak menjadi semakin rumit dikarenakan ukuran kendaraan yang semakin besar. Akibat dari kondisi ini, operasional di pelabuhan akan semakin lama.
Terkait dengan keselamatan kapal, kecenderungan pemuatan kapal melewati garis sarat maksimum menyebabkan berbagai gangguan pada operasional kapal diantaranya olah gerak (terutama pada saat cuaca buruk), stabilitas kapal, meningkatnya kemungkinan untuk gelombang masuk ke dalam kendaraan. “Di lapangan truk ODOL cenderung melindungi muatannya dengan penutup berlapis. Hal ini menyebabkan pengawasan terhadap isi muatan menjadi semakin sulit. Ditambah dengan tidak adanya deklarasi secara akurat manifes muatan yang dibawa kendaraan ODOL,” katanya.
Ia menambahkan terkait kebijakan Zero ODOL, KNKT sangat mendukung, terlebih dikaitkan dengan upaya peningkatan keselamatan transportasi.
Menurut dia, pelaksanaan kebijakan ini harus dilaksanakan secara komprehensif dan butuh koordinasi dengan seluruh pihak. “Dalam implementasinya tentunya tidak bisa dilaksanakan serta merta karena akan berpengaruh pada sektor-sektor yang lain. Harus ada tahapan-tahapan pelaksanaannya, yang terpenting roadmap Zero ODOL selama lima tahun kedepan dilaksanakan secara konsisten,” katanya. (Kmb/Balipost)