Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., M.MA. (BP/Istimewa)

Oleh Gede Sedana

Pertanian merupakan salah satu sektor perekonomian yang tidak pernah redup untuk diperhatikan ibarat perempuan cantik yang hadir di permukaan bumi ini. Fungsi pertanian yang harus selalu diakui oleh masyarakat dimanapun adalah sebagai penyedia pangan, sehingga sering dimunculkan ungkapan, seperti no land-no farm, no farm-no food, no food-no life.

Dalam beberapa dekade terakhir, sektor pertanian semakin menurun kontribusinya terhadap PDRB seiring dengan peningkatan kontribusi sektor tersier atau sektor jasa. Penurunan kontribusi ini diikuti oleh berbagai dampak yang cenderung negatif, seperti menurunnya investasi pertanian, alih fungsi lahan yang semakin meningkat sepanjang tahun termasuk alih profesi petani ke non-petani. Masalah alih fungsi lahan khususnya sawah di Bali hampir tidak terkendali karena desakan dari sektor non-pertanian yang sangat kuat.

Salah satu dampaknya adalah ketersediaan pangan akan terganggu selain terdegradasinya faktor lingkungan fisik, sosial, dan budaya pertanian. Di sisi lain, pemerintah harus dapat mewujudkan kedaulatan pangan. Pertanian (pangan) yang berdaulat tersebut dimaksudkan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal (UU Nomor 18 Tahun 2012). Selain itu, kedaulatan pangan mengandung arti bahwa pasok pangan, khususnya bahan pangan pokok, mesti berasal dari produksi dalam negeri.

Baca juga:  Transportasi Daring, Menunggu Regulasi Bijak

Terlebih lagi, telah ditetapkannya Undang-Undang No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Undang-Undang Nomor Nomor 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang sangat diharapkan senantiasa memberikan angin segar untuk mewujudkan kedaulatan pangan termasuk meningkatkan kesejahteraan para petani. Namun, belakangan ini, tujuan tersebut belum dapat terwujud secara maksimal di tingkat nasional termasuk di Provinsi Bali. Oleh karena itu, kebijakan dan program-program pemerintah harus bermuara pada sektor pertanian mengingat perannya yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat sebagai bagian memaknai jargon pertanian sebagai tulang punggung perekonomian. Artinya bahwa sektor pertanian wajib menjadi salah satu sasaran utama bagi sektor-sektor lain, seperti industri, irigasi, transportasi, pariwisata, koperasi, keuangan/perbankan, pendidikan, dan lain sebagainya.

Salah satu sistem yang dapat dikembangkan adalah penguatan sistem agribisnis Agribisnis sebenarnya adalah suatu konsep system yang utuh, mulai hulu sampai ke hilir, yaitu dari penyediaan sarana produksi dan Alsintan, proses produksi, mengolah hasil, pemasaran dan aktivitas lain yang mendukung kegiatan pertanian. Melalui sistem agribisnis, pemerintah agar merancang adanya peningkatan nilai tambah bagi setiap pelakunya, khususnya para petani. Petani tidak semata-mata ditempatkan sebagai produsen tetapi lebih diorientasikan pada aspek bisnis terhadap produk-produk yang dihasilkannya, seperti produk-produk pangan, hortikultura, peternakan, perikanan dan perkebunan.

Baca juga:  Galungan, Kampanyekan ”Dharma”

Secara praktis, dibutuhkan penguatan peran agroindustri hulu dan agroindustri hilir untuk memiliki peran secara terintegrasi dengan sector pertanian guna mewujudkan pertanian yang berdaulat dan berbasis kesejahteraan petani. Implementasi integrasi tersebut dapat dilakukan dengan membangun bisnis inklusif antara petani (kelompok petani/subak/subak-abian) bersama-sama dengan pengusaha penyedia saran produksi dan Alsintan, pengolahan seperti penggilingan, pengemasan, pedagang besar, dimana masing-masing pihak saling berbagi peran (roles sharing) dan tidak hanya terjadi proses jual beli produk.

Agar bisnis inklusif ini dapat berjalan secara efektif dan efisien, petani melalui kelompoknya atau asosiasinya perlu diberdayakan dan diberikan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasistas dalam aspek manajemen, organisasi dan administrasi, khususnya keuangan. Peran penyuluh pertanian dan perguruan tinggi sangat dibutuhkan untuk mewujudkan adanya perubahan perilaku petani menuju better farming, better business dan better farming. Better farming dilakukan melalui perbaikan teknologi budi daya dan peningkatan pengetahuan, sikap dan skill petani untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan.

Baca juga:  Dukung Koster Wujudkan Kedaulatan Pangan, Karangasem Garap Jagung dan Denpasar Terapkan Sawah Abadi

Kondisi ini sangat erat kaitannya dengan better business yang selalu menuntut adanya katersediaan produk dalam jumlah, kualitas yang sesuai dengan permintaan pasar serta kontinuitasnya melalui kemitraan bisnis. Melalui bisnis tersebut, para petani, kelompok petani atau asosiasi petani akan memperoleh nilai tambah dan profit yang sekaligus sebagai insentif ekonomis untuk semakin intensif dalam mengelola usaha taninya secara berkelanjutan. Atau dengan kata lain, pertanian tidak akan menjadi sektor yang ditinggalkan tetapi menjadi sektor yang terus digeliatkan oleh para petani.

Ini berarti bahwa pengembangan pertanian dengan pendekatan agribisnis melalui system bisnis inklusif dapat mendorong terwujudnya kedaulatan pangan. Diharapkan mengawali tahun 2023, diharapkan menjadi tahun memulai untuk semakin mengintensifkan pembangunan pertanian guna mengantisipasi bayang-bayang krisis pangan yang bersifat global.

Penulis, Rektor Dwijendra University, Ketua DPD HKTI Bali dan Ketua PERHEPI Bali

BAGIKAN