Warga membeli kebutuhan hariannya di Pasar Kereneng, Denpasar. Kebutuhan pokok cukup mempengaruhi inflasi di Bali dikarenakan harga yang mengalami kenaikan. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Berbagai kebijakan dan upaya dilakukan pemerintah untuk mengendalikan inflasi Bali yang  masih tinggi karena di atas range target Bank Indonesia 3,5% plus minus 1% yaitu 6,2% per Desember 2022 (yoy). Saatnya pemerintah melakukan  langkah antisipasi yang lebih serius didukung stakeholder.

Kebijakan tersebut di antaranya kebijakan moneter menaikkan suku bunga 5,5% dan pengendalian supply dan demand. Namun hingga saat ini inflasi masih di atas range target BI.

Akademisi dari Universitas Udayana Putu Krisna Adwitya mengatakan, kondisi itu merupakan kondisi riil  karena pandemi belum sepenuhnya pulih. Ditambah komoditas yang langka akibat gagal panen sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan permintaan. “Otomatis sesuai dengan hukum ekonomi, permintaan naik, harga meningkat,” ujarnya.

Sementara proyeksi 2023, dengan adanya perayaan Hari Raya Keagamaan dan libur tahun baru mempengaruhi kenaikan harga komoditas. Potensi itu harus diwaspadai mengingat banyak lembaga survei maupun lembaga yang kredibel memproyeksi 2023 akan mengalami resesi. Oleh karena itu pemerintah harus melakukan langkah antisipasi yang lebih serius.

Salah satunya yang perlu diwaspadai adalah peningkatan UMP. Memang Dewan Pengupahan telah memberi masukan kepada Gubernur untuk meningkat UMP 10% dari inflasi yang diharapkan berdampak pada daya beli. Langkah kedua dengan meningkatnya harga sejumlah bahan pangan 2022, maka stok pangan perlu dipastikan ada dan distribusinya lancar sehingga bisa dibeli oleh masyarakat sehingga tidak memunculkan kelangkaan.

Baca juga:  Masyarakat Jangan "Panic Buying" Hadapi COVID-19, Dampaknya Seperti Ini

Dari sisi penawaran, pemerintah, dalam hal ini Bulog harus memastikan ketersediaan pangan jangan sampai langka, dan secara makro pengendalian inflasi tidak bisa dilakukan sendiri , harus bersama sama dengan stakeholder. “Harus ada policy mix, bauran kebijakan, tidak hanya dari sisi permintaan juga penawaran maka peran penting TPID untuk memastikannya,” ujarnya.

Misalnya, BI telah beberapa kali menaikkan suku Bunga hingga saat ini 5,5%. Menurutnya kebijakan tersebut akan efektif menurunkan inflasi jika kebijakan tersebut direspon dengan cepat oleh perbankan. Mengingat suku bunga acuan hanya berupa imbauan, maka perbankan akan meresponsnya dengan waktu cukup lama karena bank perlu melakukan penghitungan.

“Mekanisme kebijakan suku bunga tidak bisa langsung terasa dampaknya. Pasar atau perbankan perlu merespons  kebijakan suku bunga dan Tidak serta merta langsung direspons oleh perbankan karena bank ini perlu perhitungan mekanisme untuk mencapai itu perlu waktu yang terkadang perlu waktu yang cukup lama,” tukasnya.

Baca juga:  Cuaca Buruk, Petani Cabe Terpuruk

Apalagi kebijakan moneter tersebut bersifat imbauan persuasif sehingga pasar atau perbankan bisa mengikuti, bisa tidak. Berbeda halnya dengan negara yang memiliki peran regulator yang kuat maka ketika kebijakan moneter diterapkan akan diterapkan oleh perbankan atau pasar di negara tersebut.

Meskipun respons kebijakan moneter tersebut butuh waktu panjang namun dampaknya pun untuk jangka  menengah dan panjang bagi perekonomian. “ Jika terkait keefektifan, menurutnya efektif tapi dalam jangka waktu tertentu,” imbuhnya.

Sementara itu upaya pengendalian inflasi dalam jangka pendek dengan memberikan shock terapi pada pasar ketika harga barang barang naik seperti operasi pasar dan pasar murah. “Pengelolaan supply and demand dampaknya bisa secara langsung asalkan efektif dilakukan dari tingkat atas sampai bawah, maka akan lebih cepat dirasakan manfaatnya walaupun tidak bisa secara langsung mengikis inflasi sekian persen. Tapi paling tidak , terapi bisa mujarab asal dilakukan secara efektif dan kontinu,”  tambah Krisna Adwitya.

Dengan demikian perlu langkah-langkah preventif yang menurutnya harus digalakkan dan diintensifkan oleh pemerintah dan dibantu oleh stakeholder.

Baca juga:  Divonis Segini, Sipir Wanita Menangis

Pengamat ekonomi yang juga Komisaris Utama BPR Nusamba Mengwi Ketut Komplit, Rabu (11/1) mengatakan, menaikkan suku bunga tidak bisa serta merta dilakukan. Bank perlu menganalisa, khususnya di BPR, baik analisa inflasi maupun ekonomi global. Tapi sampai saat ini BPR masih belum meningkatkan suku bunga DPK maupun kredit.

“Untuk kredit akan kecenderungan BPR menurunkan suku bunga dan bahkan telah mulai menurunkan suku bunga sejak tahun 2022 akibat idle money dan kepercayaan meningkat,” ujarnya.

Respons terhadap kenaikan suku bunga, dikatakan BPR berfokus pada upaya memproduktifkan aset BPR. Selain itu, respon kebijakan dilakukan dengan melihat kondisi kebutuhan likuiditas jangka pendek, 1-3 bulan maupun pergerakan suku bunga penjaminan atau LPS.

Walaupun ada kenaikan suku bunga 0,25% namun karena kondisi BPR banyak idle money maka respons BPR, tidak meningkatkan suku bunga dana maupun kredit. Dengan demikian, ditanya efektif tidaknya BI menaikkan suku bunga acuan menurutnya kebijakan tersebut adalah salah satu instrumen menekan inflasi. Sedangkan ada instrumen lain untuk menekan inflasi yaitu upaya pemerintah dalam menstabilkan harga-harga yang dapat memicu inflasi. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN