Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Kabar mengejutkan sekaligus menggembirakan. Indonesia kembali menjadi ’panggung’ bagi artis top dunia. Kali ini grup band legendaris asal Britania Raya, Deep Purple, memastikan akan manggung di Solo pada 10 Maret. Pertunjukan bersejarah ini mengulang peristiwa serupa tahun 1975 di Jakarta.

Kali ini, bertepatan dengan 55 tahun karier bermusik band rock yang populer dengan lagu-lagu hits seperti Soldier of Fortune, Smoke on the Water, Perfect Stranger, dan banyak lagi, juga akan dibuka oleh God Bless yang tahun ini memasuki usia 50 tahun karier bermusik.

Bagi Indonesia, konser yang digelar awal tahun ini bermakna strategis untuk memacu industri pertunjukan di tahun yang diprediksi mengalami perlambatan, bahkan resesi ekonomi ini. Pertama, kehadiran band legendaris dunia merupakan brand yang memikat. Harga tiket yang dibandrol Rp500 ribu hingga Rp3,5 juta itu menjadi cerminan besarnya apresiasi pasar di Tanah Air terhadap pertunjukan musik.

Kedatangan Deep Purple di Solo menstimuli industri pertujukan musik di berbagai daerah di Tanah Air, tidak hanya di Jakarta dan Bali. Dalam konteks turisme, industri showbiz erat kaitannya dengan tempat penyelenggaraan venue yang memiliki dampak berganda cukup besar. Sarana MICE (meeting, incentive, conference, exhibition) dengan daya tampung ribuan orang kini banyak didirikan di daerah yang memungkinkan untuk menghelat even bertaraf internasional.

Baca juga:  Ketidakpastian, Pergeseran dan Penanganan

Jumlah ballroom di perhotelan, jumlah kamar, akses dan sarana transportasi, serta sarana pendukung lainnya, memperkuat pariwisata daerah yang multi destination untuk merengkuh kedatangan wisatawan dari segmen industri pertunjukan khususnya maupun MICE. Mata rantai bisnis ini melibatkan akomodasi hotel, venue pertunjukan, sarana transportasi (pesawat terbang dan transportasi dalam kota), sponsorship, pedagang musiman, dan jejaring bisnis show (event organizer, kontraktor, advertising, dan lain-lain), suvenir (kaos, kalung, cincin, dan lain-lain), serta jejaring industri musik itu sendiri (persewaan sound system, lighting, studio musik, toko kaset/CD/DVD, dan lain-lain). Pemerintah pun mendapatkan pajak.

Kedua, citra destinasi penyelenggara even diperkuat dengan kehadiran band top dunia. Solo tidak hanya pertama kali kedatangan musisi dunia, sebelumnya juga menjadi tuan rumah konser Dream Theater, Rock in Solo, dan even internasional lainnya. Tampaknya ada konsistensi menjadi Solo sebagai destinasi konser melalui pertunjukan reguler musisi dunia.

Bila disinergikan dengan baik, dampak berganda dari konser ini justru jauh lebih besar ketimbang penyelenggaraan konser pada hari H. Nilai lebihnya ada pada waktu sebelum (pre event) dan sesudah pertunjukan (post event). Dalam konteks pariwisata, pasar penonton pertunjukan tidak hanya warga Solo Raya, tetapi juga Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lain di Indonesia. Tak menutup kemungkinan, warga dari luar negeri juga datang melalui sarana pemikat konser itu.

Baca juga:  Menunggu Sikap Amanah Wakil Rakyat

Potensi kunjungan wisatawan dari luar daerah dan luar negeri cukup besar. Namun kendala utama yang masih menghadang adalah mahalnya tiket pesawat terbang. Seandainya saja tiket penerbangan murah, maka untuk mendatangkan semakin banyak wisatawan dari luar daerah dan luar negeri akan semakin mudah. Termasuk untuk membuat paket weekend di berbagai daerah di Tanah Air dengan menyajikan band-band lokal, nasional ataupun dunia.

Tidak hanya peran swasta yang penting di sini, peran pemerintah juga sangat diperlukan. Insentif dan kebijakan yang mendukung promotor menghadirkan musisi dunia patut ditingkatkan. Selain itu, komunikasi dan relasi yang positif dengan kalangan perhotelan, biro perjalanan wisata, pengelola akomodasi MICE. Harapannya, ketika ada peran pemerintah, bisa memberikan suntikan energi baru untuk memacu industri pertunjukan.

Ketiga, terkait industri pertunjukan, Bernd H. Scmitt dalam bukunya yang berjudul There is No Business That is Not Show Business (2004) menyatakan, bahwa pelanggan kini menilai sebuah produk, brand, dan organisasi secara keseluruhan berdasarkan pengalaman yang ditawarkan perusahaan kepadanya. Tetapi bukan sembarang pengalaman yang bisa diapresiasi konsumen.

Baca juga:  Akreditasi, antara “Branding” dan Layanan

Pengalaman ini, haruslah menghibur (entertaining), melibatkan konsumen (engaging), memberikan sesuatu yang lebih dari yang diharapkan konsumen (boundary breaking), dan pada saat bersamaan menciptakan value kepada bisnis (value creating). Menurut Scmitt, semua bisnis kini harus dikelola sebagai show business yang menyenangkan semua orang (happy appealing).

Lebih lanjut, Hermawan Kartajaya menyatakan bahwa banyak kesalahfahaman perihal show business yang dianggap hanya milik industri hiburan yang di dalamnya terdapat nyanyian dan tarian. Yang terpenting, harus mampu memancing perhatian audience, menarik dan evennya selalu diingat. Show business kian penting karena konsumen saat ini tidak rasional. Pembelian berdasarkan harga, tetapi emosional (Majalah Mix, No. 05 / 09 Juni – 12 Juli 2005, hal. 12-13).

Industri pertunjukan menghadirkan kegembiraan. Siapa pun yang datang ke pertunjukan, apalagi menyaksikan idola, pasti bahagia, membawa kesan pengalaman yang menggembirakan. Alasan pencarian kebahagiaan itulah yang mendorong pasar berupaya untuk datang dan hadir di pertunjukan. Kehadiran Deep Purple merupakan alat promosi yang efektif untuk menarik kunjungan wisatawan asing ke Indonesia dan menggerakkan perjalanan wisata dalam negeri.

Penulis, Dosen Hospitality Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN