Oleh Marjono
Diktum Rene Descartes (1509-1650) yang melegenda, yakni cogito ergo sum (saya berpikir, karena itu saya ada). Maka ketika kita tarik dalam benang panjang para aparatur sipil negara (ASN) di negeri ini yang berjumlah tak kurang empat juta orang, masih ditambah lagi kebutuhan ratusan ribu ASN. Angka-angka tersebut menjadi potensi yang luar biasa menuju pada sosok-sosok yang kompeten dan profesional. Kedua domain tersebut, bisa ditempuh melalui beragam cara, dan salah satunya dengan mendorong ASN menulis.
Kita pahami, menulis telah menjadi bagian cara kita mereproduksi dan mengembangkan cara berpikir. Orang menulis dipastikan telah melewati proses berpikir, namun berpikir saja belum tentu menyentuh pada praktik menulis. Inilah yang barangkali kemudian masih relevan dan patut digelorakan di kalangan ASN.
Hari ini ASN tak hanya dituntut melaksanakan tugas-tugasnya lewat step dan target yang dipasang, tapi juga harus punya kompetensi menuangkan ide-ide segarnya melalui tulisan yang bermanfaat bagi orang lain (migunani tumrap liyan). Kegiatan rapat, monitoring dan evaluasi, studi lapangan, peliputan apalagi ASN yang berkecimpung pada tugas pokok fungsi materi naskah pimpinan, sudah seharusnya punya passion dan kemampuan menulis.
Kita akui, dengan menulis sekurangnya keliaran ide-ide kreatif bisa menyembul keluar dan tidak membuat pikiran beku atau mati. Sehingga kita pun kerap menggenggam diksi, membaca kita tahu dunia dan menulis dunia tahu kita. Tahun-tahun belakangan sesungguhnya menjadi momentum kebangkitan ASN untuk tidak canggung ketika bersentuhan dengan dunia menulis.
Pemerintah sekarang membuka kran selebar-lebarnya bagi ASN memasuki jabatan fungsional. Jabatan satu ini akan sangat terbantu kala ASN yang bersangkutan punya kecakapan menulis.
Sekarang di musim pandemi Covid-19, saat work from office dan work from home, para ASN bisa memanfaatkan kedua waktu itu untuk menggumuli hobi, mencoba dan mempraktikkan mendarakan ide-ide gilanya melalui tulisan. Karena dengan bergiat menulis berupa buku, jurnal, prosiding atau menulis di media massa, kita bisa mendapatkan angka kredit (jabatan fungsional), dari angka kredit itu bisa kita bisa menghantarkan pada usulan kenaikan jabatan/pangkat.
Tinggal bagaimana ASN mendayagunakan peluang itu menjadi nutrisi penopang profesinya. Karena rerata ASN melek teknologi, media sosial, dll. Jadi, menulis sesungguhnya bukan alien di jagat nyata.
Pendeknya, semua orang termasuk ASN bisa menjadi penulis meskipun bukan bidangnya. Hanya bermodal semangat dan berani berkarya. Kreatifitas menjadi arus utama yang perlu dibuktikan. Seperti pernah diutarakan novelis kesohor, Asma Nadia di salah satu harian nasional, banyak yang menganggap kemampuan menulis lahir berdasarkan bakat.
Hanya jika memiliki bakatlah, seseorang akan sanggup melahirkan tulisan. Selanjutnya, muncul teori bakat genetika, misalnya bakat dari keturunan atau tumbuh sendiri dalam diri seseorang. Sebagian menganggap menulis hanya mungkin dilakukan apabila kegiatan tersebut memang menjadi minat yang bersangkutan.
Budaya
Pada kutub yang lain, ada satu pengalaman ekstrem penulis. Lewat beberapa tulisan yang coba dikirim ke media cetak, opini atau artikel tersebut seolah menjadi ciuman yang menyelamatkan dari kepedihan. Menyelamatkan penulis dari ancaman DO kuliah karena kurusnya keuangan keluarga, 30 tahun kala itu.
Ini berkah lain dari menulis semula sekadar iseng-iseng berhadiah berlanjut menjadi habbit yang mengembirakan, serasa “ngabubuwrite”. Akhirnya, tak ada salahnya kita gelorakan menulis yang berbudaya dan membudayakan menulis, termasuk level ASN.
Menjejaki dunia menulis, kita turut memainkan peran aktor, edukator, role model, sumber belajar. Dengan menulis, ASN juga berpotensi menjadi game changer opini publik, maupun memberi kritik, ruang alternatif dan rekom kebijakan yang tidak memunggungi. Hal ini membuka kesempatan untuk memengaruhi opini masyarakat dengan menulis di media, menulis potret diri, lingkungannya maupun pekerjaannya dengan segala suka sedihnya.
Jika demikian, Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama tidak menulis ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah” dari ungkapan tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dengan menulis karya-karya kita akan terdokumentasi dalam keabadian. Jika usia kita tak sepanjang usia dunia, maka sambunglah dengan karya.
Maka kemudian masih relevan, ikatlah ilmu dengan menulis. Kita mengenal Soekarno, Mohammad Hatta, Gus Dur, Romo Mangun bahkan Ganjar Pranowo. Semua sosok ini gemar membaca dan cakap menulis. Maka, jika kita mendengarkan sambutan, pidato kunci, ceramah atau tulisannya sarat gagasan. Satu lagi, tulisannya enak dibaca dan runtut. Seperti kita sedang berbincang face to face dengan mereka.
Pemerintah pun tak tingal diam, selalu memberikan dukungan atas kerja-kerja literasi, seperti pelatihan jurnalistik bagi ASN, lomba menulis di kalangan ASN, dll. Diakui atau tidak dengan para ASN yang bergiat menulis, sekurangnya turut meramaikan dunia media di tanah air, pengayaan penulis sendiri dan tentu bakal memperkaya informasi ke tengah masyarakat. Masyarakat pun punyak hak untuk tahu atas informasi yang beredar. Namun demikian, harap maklum, ASN menulis itu bukan segalanya apalagi segala-galanya.
Penulis, Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng