DENPASAR, BALIPOST.com – Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Flores Timur, Sebas Sina Kleden menyatakan sebanyak 30 ekor babi di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) mati dalam waktu sebulan terakhir. Berdasarkan sampel yang diperiksa, babi tersebut positif mengandung virus African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika.
Sebas mengatakan seluruh anakan babi yang mati tersebut merupakan bantuan dari Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian untuk tiga kelompok peternak di Flores Timur. Babi tersebut dikirim dari Bali melalui Satuan Kerja (Satker) Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijaukan Pakan Ternak Denpasar. Adapun total bantuan anakan babi yang dikirim dari Bali berjumlah 50 ekor.
Menanggapi pemberitaan tersebut, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan (Kadistan) Pangan Provinsi Bali, Dr. I Wayan Sunada, SP., M.Agb., membantah hal tersebut. Dikatakan, bahwa Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali tidak pernah mengeluarkan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) maupun rekomendasi teknis pengiriman babi ke Provinsi NTT.
Sebab, berdasarkan data yang disampaikan Kepala Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTUHPT) Denpasar, ternak babi bantuan pemerintah dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian yang disalurkan melalui Satker BPTUHPT Denpasar yang diterima kelompok di Flores Timur berasal dari Provinsi NTT. Hal tersebut sesuai dengan persyaratan tender kepada penyedia yang mensyaratkan ternak babi harus berasal dari daerah (Provinsi) setempat kelompok calon penerima manfaat.
Pernyataan Kepala BPTUHPT Denpasar tersebut diperkuat dengan dokumen karantina yang menyatakan bahwa ternak babi berasal dari Kota Kupang. “Dengan demikian tidak benar ada 30 babi kiriman dari Bali mati terjangkit ASF di Flores Timur,” tegas Wayan Sunada, Rabu (18/1) malam.
Sunada, menjelaskan akibat terjadinya kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Provinsi Bali pada akhir bulan Juni 2022, hingga saat ini seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali dinyatakan sebagai Zona Merah. Ini sesuai dengan Surat Edaran Satgas Penanganan Penyakit Mulut dan Kuku Nasional tentang Pengendalian Lalulintas Hewan Rentan Penyakit Mulut dan Kuku dan Produk Hewan Rentan Penyakit Mulut dan Kuku berbasis Kewilayahan.
Meskipun sejak 1 Agustus 2022 Provinsi Bali telah dinyatakan zero reported case PMK, namun seluruh kabupaten/kota di Provinsi Bali masih dinyatakan sebagai Zona Merah. Sehingga, sesuai dengan SE Satgas Penanganan PMK Nasional Nomor 8, tidak diizinkan melalulintaskan Hewan Rentan PMK dari zona merah ke zona hijau, zona kuning maupun zona putih.
“Berdasarkan peraturan tersebut, kami Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali tidak pernah mengeluarkan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) maupun rekomendasi teknis pengiriman Hewan Rentan PMK ke daerah yang dinyatakan sebagai zona hijau maupun zona kuning,” tandas Sunada.
Apalagi, dikatakan bahwa seluruh kabupaten/kota di Provinsi NTT sampai saat ini dinyatakan sebagai daerah zona hijau. Dengan demikian, tidak diperkenankan adanya lalu lintas Hewan Rentan PMK dari daerah zona merah, zona kuning maupun zona putih ke Provinsi NTT. (Winatha/balipost)