Oleh Keyza Widiatmika
Dalam pendidikan hadap masalah (problem-posing education), proses transfer ilmu satu arah adalah nihil. Murid bukan sekadar obyek penerima ilmu, karena guru harus bisa menjadi pendamping untuk menstimulasi critical thinking atau kemampuan berpikir kritis para murid.
Guru dan murid ibarat rekan sejawat yang sama-sama sadar untuk saling belajar tentang realitas dunia dan menyelesaikan permasalahannya. Maka dari itu, sudah sewajarnya murid diajak mengeksplorasi diri dan sekitarnya melalui kesempatan mengekspresikan perspektif mereka.
Mengasah critical thinking dapat dilakukan dengan sistem pembelajaran yang bersifat HOTS (High Order Thinking Skills) yang juga berpengaruh pada kemampuan berpikir kreatif dan analitis. Jika guru menanamkan pembelajaran bersifat hafalan dan minim kontekstualitas, maka terjadilah proses pelemahan berpikir kritis. Terlebih lagi dengan bantuan Artificial Intelligence (AI) bernama Chat GPT.
Teknologi ini mampu menjawab pertanyaan dan permintaan pengguna lewat teks. Ia jadi pendamping yang dapat melakukan pekerjaan yang biasanya hanya dilakukan oleh manusia seperti mengatur strategi dan membuat keputusan.
Misal dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, murid diminta membuat puisi bertemakan cinta. Mereka yang terbiasa dengan internet akan mengakses mesin pencari seperti Google untuk menemukan jutaan contoh puisi sebagai referensi.
Namun, uniknya Chat GPT lebih dari sekadar mesin pencari. Murid bahkan bisa meminta jawaban yang bersifat personal dan spesifik mulai dari jumlah kata, penggunaan bahasa, hingga bentuk emosi dalam puisi.
Guru yang abai dengan pembelajaran bersifat kontekstual akan membuat murid mempertanyakan kembali relevansi materi pelajaran dengan kehidupan mereka sehari-hari. Jika kadar relevansi itu tipis, maka berbagai jalan pintas akan dilakukan, termasuk memanfaatkan Chat GPT untuk membuat tugas yang ala kadarnya. Di sinilah critical thinking manusia diuji dan berdampak banyak.
Pertama adalah berkurangnya interaksi sosial. Padahal, pendidikan hadap masalah mengutamakan dialog, dan pembelajaran dialogis menciptakan keterbukaan. Interaksi antara guru dan murid akan menjadi jendela bagi murid berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga ilmu yang didapat tak hanya menjadi ego individu.
Tantangan lain ada pada rendahnya motivasi. Murid berpotensi kehilangan niat belajar karena segala tugas yang diberikan hanya sekadar memenuhi lembar putih oleh tinta hitam. Bayangkan makalah puluhan halaman yang biasanya memakan waktu berhari-hari dapat diselesaikan dalam hitungan menit.
Tantangan ini kemudian melahirkan tantangan pada produk tanpa kontrol kualitas, meski bukan masalah bagi guru yang berorientasi kuantitas. Ini lah perkara utamanya. Teknologi Chat GPT bukan secara tiba-tiba mereduksi kemampuan berpikir kritis manusia. Ada peran guru yang harus muncul untuk merancang pembelajaran kontekstual, sekalipun harus memanfaatkan Chat GPT.
Penulis adalah Seorang Akademisi