Wayan Suartana. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Ekonomi Bali diakui sudah menggeliat karena wisatawan mulai berdatangan. Namun, untuk pulih seperti sebelum pandemi melanda, Bali masih memerlukan waktu lebih lama.

Salah satu indikator, saat ini ada banyak properti hotel di Bali yang ditawarkan untuk dijual. Bali setidaknya membutuhkan relaksasi kredit hingga 2025, dimana keseimbangan baru ekonomi Bali telah terwujud.

Tahun 2023 dan setelahnya, masih akan menjadi tahun berat bagi ekonomi Bali. Apalagi Presiden Jokowi telah beberapa kali menyampaikan kekhawatirannya tentang resesi yang melanda sebagian besar negara di dunia, akan berdampak kepada Indonesia. Seperti yang terjadi saat ini, krisis energi dan pangan melanda dunia dan berdampak pada naiknya harga energi bahkan kelangkaan di sejumlah daerah.

Dengan ekonomi dunia yang krisis, kebutuhan berwisata terutama ke Bali belum dianggap prioritas. Menurut akademisi dari Universitas Udayana Prof. Wayan Suartana, Minggu (22/1), kondisi ekonomi saat ini masih diliputi oleh ketidakpastian yang ditandai Konflik Rusia-Ukrania belum berakhir dan rantai pasokan terganggu.

Baca juga:  Logistik Pilkada Karangasem Mulai Berdatangan

Sementara dunia usaha yang menjadi motor penggerak perekonomian belum pulih betul dari dampak pandemi Covid-19. Dengan kondisi ini, dunia usaha mesti tetap mendapat sokongan dari pemerintah untuk dapat menggerakkan perekonomian. Maka dari itu perlu kolaborasi dengan dunia usaha. Salah satu upaya yang bisa menyokong dunia usaha adalah kebijakan relaksasi agar tetap dilanjutkan atau bisa dengan skema lain yang saling menguntungkan dan membantu kedua belah pihak.

Sejumlah kalangan pengusaha di Balisejak awal mengatakan relaksasi kredit khusus Bali setidaknya sampai 2025. Ketua HIPMI Bali Pande Agus Widura misalnya menyebut waktu tiga tahun sejak 2022, sebagai jangka waktu ideal perpanjangan relaksasi kredit khusus Bali. Alasannya karena pariwisata membutuhkan waktu lama untuk recovery.

Baca juga:  Jaga Stabilitas Harga, Pemerintah Beri Subsidi Angkut

Pelaku UMKM asal Buleleng, Gede Suardana juga mengatakan hal serupa sekitar April 2022 lalu, saat pertemuan dengan pimpinan bank BNI, menyatakan hal serupa. Untuk recovery ekonomi, Bali membutuhkan waktu paling tidak hingga 2025.

 

Menurut akademisi dari Universitas Udayana Prof. Wayan Suartana, Minggu (22/1), angka inflasi yang cenderung tinggi di berbagai belahan dunia membuat investor bersikap tunggu dan lihat. Situasi pariwisata juga belum kembali seperti sebelum Covid. Akibatnya terhadap sektor pariwisata, banyak hotel yang dijual di Bali.

Hal itu mengindikasikan bahwa kita memasuki keseimbangan baru. Indikasinya bisa saja sebelum Covid, hotel sudah over supply tetapi masih mendapatkan abnormal return karena kunjungan wisatawan yang melebihi ekspektasi.

Baca juga:  Pneumonia dan COVID Alami Kenaikan Kasus, Masyarakat Bali Harus Waspada

Setelah Covid, kunjungan wisatawan tidak seperti sebelum Covid baik kualitas maupun kuantitas kunjungan sehingga dengan sendirinya pilihan mengambil keputusan dengan menjual aset adalah sesuatu yang realistis. “Ini ibaratnya pohon jati mengugurkan daunnya di musim kemarau untuk menjaga resiliensi,” ungkapnya.

Praktisi pariwisata Hery Angligan mengatakan, sempat munculnya isu moratorium hotel sebelum pandemi merupakan suatu pertanda bahwa investasi yang dibutuhkan Bali tak lagi di sektor akomodasi. Dari fenomena tersebut, terlihat kini banyak hotel beralih kepemilikan atau dijual ke tangan lain karena tidak mampu menanggung beban operasional.

Menurutnya Bali memang membutuhkan investasi tapi investasi di bidang pertanian, perkebunan, agribisnis karena enam wilayah di Bali memiliki potensi tersebut. “Kalau investasi di akomodasi, pariwisata sudah jenuh,” ujarnya. (Citta Maya/Nyoman Winata/balipost)

BAGIKAN