AMLAPURA, BALIPOST.com – Keberadaan arak gula rupanya menjadi momok bagi perajin arak tradisional. Sebab keberadaannya membuat produk arak tradisional sulit untuk dijual.
Salah satu pengerajin arak asal Kebung, Sidemen, Karangasem, I Kadek Kicen, mengungkapkan, belakangan ini dirinya cukup kesulitan untuk menjual arak hasil produksinya. Hal itu disebabkan karena persaingan harga yang tidak sehat antara arak tradisional dengan produk berbahan gula pasir yang masih banyak beredar.
“Kita selalu perajin arak tradisional berbahan baku tuak, kalah bersaing harga. Kalau arak tradisional, beli tuak untuk bahan araknya saja Rp 10 ribu per liter, sedangkan arak gula itu sudah jadi arak dijual Rp 10 per botol, jelas kita kalah bersaing di harga,” ujarnya, Senin (23/1).
Kicen, menambahkan, dari 80 liter tuak yang disuling hanya menghasilkan sekitar 15 liter arak dengan kadar alkohol 40 persen. Normalnya dijual Rp 20 ribu untuk satu botol ukuran 600 ml, namun karena persaingan harga, kini dijual dengan harga Rp 15 ribu per botolnya. “Harga segitu saja masih cukup susah untuk dijual, karena kalah dengan harga arak gula,” jelasnya.
Dia mengakui, apabila kondisi ini terus berlanjut tentunya akan mengancam keberadaan perajin arak tradisional yang masih bertahan hingga saat ini. “Saya menjadi perajin arak tradisional turun temurun, karena memang ini satu-satunya pencarian kami selain berkebun. Kalau perajin lain ada juga yang beralih menjadi buruh bangunan dan bekerja yang lainnya,” ujarnya. (Eka Parananda/balipost)