Oleh : I Gusti Ketut Widana
Gubernur Bali I Wayan Koster melalui Surat Keputusan Nomor 929/03-I/HK/2022, menetapkan tanggal 29 Januari sebagai Hari Arak Bali (HAB), dalam upaya dan strategi memperkokoh perlindungan dan pemberdayaan arak Bali. Tujuannya mengenang Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola
Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali sebagai tonggak perubahan status yang mengangkat keberadaan, nilai, dan harkat arak Bali.
Menyusul keluarnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik
Indonesia Nomor 414/P/2022 Tentang Penetapan Arak Bali sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia tahun 2022 dan pemberian Arak Bali 5 rasa sebagai souvenir dalam KTT G20 Bali 2022. Seperti sudah lumrah, setiap keputusan/ kebijakan publik biasanya tak lepas dari terpaan kritik, menimbulkan polemik, atau prokontra dalam frame rwabhineda.
Pihak kontra sudah pasti menentang atau menolak, lebih berdasar kekhawatiran akan efek negatif yang ditimbulkan. Asumsinya, HAB itu terkesan hendak memasyarakatkan arak atau “mengarakkan” masyarakat. Jangankan ditetapkan, tanpa HAB pun kebiasaan minum arak sudah begitu massif memasyarakat di kalangan (sebagian) krama Bali.
Sampai kemudian muncul fenomena “seminar” (seke minum arak) atau “semiloka Bali” (seke minum arak lokal Bali). Argumen lainnya, berasal dari golongan agamawan, merujuk ajaran agama (Hindu) kebiasaan menenggak minuman keras seperti arak termasuk
perilaku “mada”, acapkali berujung mabuk (punyah).
Sedangkan dari perspektif sosio-psikologis, akibat
pengaruh konsumsi minuman beralkohol, dapat memicu dan memacu adrenalin ke arah tindakan kriminal, yang tentunya melanggar hukum.
Sebenarnya tidak ada yang salah menyoall keberadaan arak (di) Bali, terutama dilihat dari manfaatnya sebagai obat. Dilansir laman Badan Pengawan Obat dan Makanan (BPOM), arak Bali berkhasiat menghangatkan tubuh, menurunkan demam, mengatasi rematik dan diabetes serta meremajakan kulit.
Belum lagi manfaat ekonomi, menjadi sumber mata pencaharian bagi sebagian masyarakat Bali. Apalagi ditilik fungsinya, bagi umat Hindu (Bali) penganut Siwa Sidhanta yang dalam praktiknya berbaur paham Tantra (Tantrik), menjadikan keberadan arak, juga tuak dan
berem sebagai unsur penting dalam kelengkapan
ritual, khususnya bhuta yadnya semisal ketika
masegeh atau melaksanakan pacaruan.
Secara magis-mitologis, sajian bebanten yang disertai tetabuhan (arak-berem) dipercaya dapat meredam/menetralisir sifat bhutakala yang doyan
“ramya” (kegaduhan/mengganggu) agar menjadi
“somya” (tenang/terkendali). Sehingga tebaran aura negatif berubah menjadi vibrasi positif (harmoni).
Karena itu tak salah jika dikatakan arak tergolong “miras” minuman ras bhuta-kala, acapkali digambarkan secara persona sebagai sosok makhluk gaib sejenis danawa (raksasa). Bahwa kemudian makhluk manusia (manawa) juga turut meminum arak, tuak dan jenis minuman beralkohol lainnya, sepanjang peradaban diketahui, kebiasaan itu tak lepas dari perilaku sosio-agricultural sejak zaman kuno hingga era industri di zaman now.
Berawal dari masa agraris, dengan hasil kebun, terutama berupa kelapa (nyuh) dan nira (jaka), hasil sadapan bunganya, selain dijadikan produk gula juga dapat difermentasi/destilasi menjadi minuman beralkohol (tuak, arak dan ikutannya). Jadilah arak sebagai karya produk minuman tradisional khas Bali.
Ternyata, di berbagai negara maju juga memiliki jenis minuman ikonik beralkohol, seperti Sake (Jepang), Baijiu (Cina), Bourbon/Applejack (AS), Mezcal (Meksiko), Soju (Korsel), Cachaca (Brazil), Raki (Turki), dll.
Selain memiliki persamaan manfaat/khasiat, dan fungsi secara ekonomi, mikol arak khas Bali nilai lebihnya justru terletak pada fungsinya secara magico-religio. Menjadi bagian penting dalam aktivitas ritual (yadnya) sebagai elemen pembangkit energi magi (Tantrik), lalu melalui pemurnian diri lanjut mancapai keasadaran Illahi (Siwa Sidhanta).
Sepertinya disinilah letak urgennya ketika Gubernur Bali Wayan Koster menetapkan tanggal 29 Januari sebagai Hari Arak Bali. Lebih pada penghargaan atas manfaat/
khasiat, pemberdayaan fungsi ekonomi, perlindungan sebagai warisan budaya takbenda dan pemuliaan dalam penggunaan sebagai elemen ritual yadnya.
Penulis, Dosen UNHI Denpasar