Ni Nyoman Ayu Diantini. (BP/Istimewa)

Oleh Ni Nyoman Ayu Diantini

Akhir-akhir ini Indonesia dihebohkan dengan kasus dugaan kartel, KPPU melawan perusahaan-perusahaan produsen minyak goreng yang diduga melakukan praktik kartel. Kasus ini diawali dengan terjadinya kelangkaan sehingga harga minyak goreng meroket sekitar akhir tahun 2021.

Kenaikan harga minyak goreng karena kenaikan harga bahan baku tersebut kontradiksi dengan data bahwa Indonesia menjadi negara dengan pengasil minyak kelapa sawit mentah terbesar di dunia yang meningkat
dari tahun 2017 sampai 2019. Meski pada tahun 2020 mengalami sedikit penurunan yaitu sebesar 0.30 persen, menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia.

Memang sangat sulit membuktikan perusahaan -perusahaan telah berkolusi dan berkoordinasi untuk menetapkan harga tinggi atau istilahnya price fixing. Tindakan kolusi terbagi menjadi kolusi implisit atau diam-diam dan kolusi explisit yaitu adanya komunikasi dan kesepakatan secara terang-terangan antar anggota kartel.

Tindakan koordinasi antar perusahaan untuk penetapan harga tinggi diatas wajar adalah bertentangan dengan hukum pada sebagian besar negara termasuk Indonesia. Perusahaan-perusahaan memahami bahwa komisi pengawasan persaingan usaha melarang adanya kolusi dan koordinasi secara terang-terangan atau explisit melalui pertemuan-pertemuan yang dilakukan.

Baca juga:  Modal Pertumbuhan Pariwisata 2022

Maka koordinasi secara eksplisit akan meningkatkan kemungkinan terdeteksi oleh komisi antimonopoli sehingga terkena sanksi. Namun tentu mereka dapat saja melakukan koordinasi secara diam-diam atau implisit. Inilah yang berbahaya karena sangat sulit untuk dibuktikan namun sesungguhnya mereka ada.

Seorang peneliti dari Purdue University, Connor menyatakan bahwa kasus kartel memiliki durasi yang beragam dan sangat rentan untuk bubar jika ada pelaku atau anggota kartel yang curang, tidak sesuai dengan kesepatakan. Sebaliknya ada kartel yang durasinya puluhan tahun karena tidak terdeteksi.

Bahkan sangat mungkin ada kasus kartel keberlangsungannya tidak diketahui oleh publik bahkan sampai kartel tersebut bubar. Dapat dibayangkan besarnya kerugian yang diterima oleh konsumen dan negara, sebaliknya perusahaan anggota kartel menerima jauh di atas normal.

Jadi apakah kasus minyak goreng ini kemungkianan kolusi implisit atau eksplisit atau tidak ada kartel? Terlebih lagi dalam pengadilan tidak dapat dibuktikan secara gamblang bahwa perusahaan-perusahaan tersebut berkomunikasi dan terbukti sepakat terhadap harga tertentu jauh di atas wajar.

Baca juga:  Petani Milenial untuk Pertanian Bali

Hal ini menjadi menarik menilik beberapa kasus kartel di luar negeri banyak dari kasus kartel tersebut dilakukan secara diam-diam atau implisit untuk menghindari persaingan. Tingkat intensitas pertemuan antar perusahaan-perusahaan yang memiliki
produk sejenis yang tinggi dapat meningkatkan peluang kartel secara diam-diam.

Di beberapa negara kolusi diam-diam ini adalah legal karena sangat sulit untuk dibuktikan. Beberapa kasus anti persaingan di Amerika, mereka melakukan kolusi implisit atau diam-diam dengan cara tidak mengkomunikasikannya secara terang-terangan melalui komunikasi dan pertemuan terbuka tetapi koordinasi dan pengawasannya dilakukan melalui kontrol terhadap harga jual, bahan baku, dan jumlah penjualan dari masing-masing anggotanya.

Lalu apakah anggota kartel sudah terlalu cerdik sehingga tidak melakukan kolusi yang eksplisit supaya tidak terdeteksi oleh komisi antimonopoli? Bisa saja, pertemuan dan interaksi yang terjadi antar perusahaan secara berulang dapat memfasilitasi persetujuan untuk menaikkan harga dimulai dari satu perusahaan pemimpin lalu diikuti oleh perusahaan yang lainnya. Intinya adalah kartel implisit maupun explisit adalah kegiatan yang sama-sama merugikan konsumen dan negara karena perusahaan yang seharusnya bersaing satu sama lain tetapi sepakat untuk berkolusi dalam penetapan harga, bahan baku, maupun alokasi sumber daya dan pasar.

Baca juga:  Polri Kerahkan Satgas Pangan Daerah Ungkap Dugaan Kartel Minyak Goreng

Apa yang bisa dilakukan sebagai masyarakat dalam mendukung persaingan yang sehat antarusaha? Perlu digarisbawahi disini adalah KPPU tidak boleh berjuang sendiri memberantas aktivitas kartel di Indoensia. Tidak hanya dukungan penuh dari pemerintah tetapi juga pelaku usaha yang menginginkan persaingan yang sehat dan alokasi dana dan sumber daya yang efisien.

Tentunya juga pemberantasan kartel didukung oleh peran penuh dari masyarakat yang terkena dampaknya secara langsung. Masyarakat dapat mengawasi gerakan dan aktivitas perusahaan. Kartel sangat rentan terjadi pada industri dimana hanya ada beberapa perusahaan yang beroperasi dan produknya adalah barang yang kurang terdiferensiasi.

Maka dalam hal ini produsen adalah satu-satunya penentu harga. Jika masyarakat menemukan bukti-bukti adanya praktik-praktik kartel termasuk komunikasi yang dilakukan melalui pertemuan langsung maupun tidak langsung, seperti online meeting dapat melaporkan kepada komisi pengawasan usaha.

Penulis, Dosen FEB Universitas Udayana, Bali

BAGIKAN