John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Ajang Piala Sepak Bola Dunia 2022 sudah berakhir. Argentina tampil sebagai pemenang, setelah mengalahkan timnas Prancis di babak final. Di tengah euforia kemenangan Argentina, masyarakat dunia juga tentu masih ingat pesan yang disampaikan suporter timnas Jepang.

Meski kalah dalam adu pinalti dari Kroasia di putaran 16 besar, Timnas Jepang dan para pendukungnya mendapat tempat khusus dalam hati penggemar bola, dan masyarakat dunia pada umumnya. Para suporter Tim Biru dari Negeri Sakura itu, selalu menyisihkan waktu untuk memungut sampah di tribun stadion seusai pertandingan dan para pemainnya juga meninggalkan
loker ganti dalam keadaan bersih rapi, dan pesan
bertuliskan “arigato”.

Mengapa orang Jepang memiliki kepedulian yang sedemikian tinggi terhadap kebersihan dan kerapian?
Siapa pun yang berkunjung ke Jepang, memiliki kesan yang sama: negara itu sangat bersih dan rapi.

Di setiap sudut kota, di tempat-tempat umum seperti restoran, pasar-pasar tradisional, jalan raya, dan gang-gang, tidak terlihat sampah berserakan. Secara bersama-sama mereka menjaga kebersihan dan kerapian.

Baca juga:  Kehadiran Negara di Hati Siswa

Awalnya dari lingkungan rumah, kemudian merambat ke tetangga, lalu meluas ke wilayah sekitarnya. Tanggung jawab terhadap kebersihan tidak hanya rumah dan pekarangan, tetapi juga gang dan jalan di sekitarnya.

Sebagai masyarakat komunal, setiap orang Jepang selalu memikirkan diri dalam lingkup sosialnya. Prestasi apa pun selalu merupakan capaian bersama, bukan capaian individual.

Sampah bagi masyarakat Jepang adalah sesuatu yang memalukan, karena itu sedapat mungkin disembunyikan agar tidak mengganggu orang lain. Agar terkelola dengan baik, maka setiap orang Jepang selalu membawa kantong sampah, terutama ke tempat-tempat umum seperti festival Bunga Sakura, pertunjukkan summa atau lainnya.

Sampah yang mereka hasilkan seperti kulit permen, kemasan minuman, kertas tisu, dll., selalu dibawa pulang ke rumah masing-masing. Di rumah sampah-sampah itu dikelompokkan, tidak hanya ke dalam dua kategori, sampah organik dan sampah anorganik, tapi dipilah ke dalam beberapa kategori seperti sampah plastik, sampah kemasan minuman, sampah kertas, sampah styrofoam, dan sampah metal. Pemilahan ini memudah proses daur ulang.

Baca juga:  Desa-desa Kesepian

Melihat semua kebijakan pengelolaan sampah yang diterapkan dengan disiplin tinggi itu, maka orang yang sembrono membuang sampah sembarangan dianggap “alien”. Hukuman sosial dan hukum positif yang diberlakukan terhadap orang yang melanggar ketentuan pun amat berat.

Lima Slogan

Sejak usia dini, setiap orang Jepang sudah mengenal 5 slogan yang berkaitan dengan kebersihan dan kerapian. Pertama Seiri (sortir). Artinya, benda-benda apapun yang sudah tak terpakai lagi akan dibuang ke tempat yang seharusnya.

Kedua, Seiton (menata). Semua benda atau
alat yang digunakan seperti pisau, obeng, gunting,
dll., selalu tertata rapi pada tempatnya setelah
digunakan.

Ketiga, Seison (membersihkan). Di rumah, pekerjaan membersihkan dilakukan oleh semua anggota keluarga.

Keempat, Seiketsu (menjaga kebersihan). Kebersihan bukan satu proyek tunggal yang berdiri sendiri, melainkan tindakan yang berkelanjutan.

Kelima, Sitshuke (disiplin). Demi kebaikan bersama, disiplin ditegakkan. Proses internalisasi disiplin, membutuhkan panutan. Dalam hal ini, orangtua, guru di sekolah dan para tokoh masyarakat merupakan panutan.

Baca juga:  Ramai-ramai Soal Pungli di Desa

Sindrom Galapagos

Sejumlah pengamat menilai, Jepang mengalami apa yang disebut sindrom Galapagos. Istilah ini diambil dari pulau Galapagos yang terletak kira-kira 1000 km dari Afrika Selatan dan memiliki ekosistem sendiri. Di situlah Charles Darwin melakukan penelitian dan mendapatkan inspirasi untuk buku babonnya The Origin of Species (1859).

Galapagos sindrom digunakan untuk menjelaskan reputasi Jepang dalam hal integritas budaya dan tradisinya yang khas. Sebagai negara kepulauan dengan sejarah isolasinya yang panjang, banyak aspek budaya yang berkembang tanpa pengaruh dunia luar sama sekali.

Selain itu, kecintaan terhadap nilai kebersihan dan keapikan, dipengaruhi oleh Budhisme Zen yang masuk ke Jepang dari China pada 653-656 M dan Shinto sebagai agama asli orang Jepang.

Kedua agama ini menempatkan kebersihan atau
kesucian jiwa dan raga sebagai pusat refleksi mereka. Maka bersih-bersih diri dan lingkungan itu sama dengan berdoa atau bermeditasi.

Penulis, Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka, berdomisili di Yogyakarta

BAGIKAN