DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah Provinsi Bali akan membatasi aktivitas wisata di beberapa gunung di Bali agar tetap terjaga kesuciannya, karena selama ini aktivitas yang berkaitan dengan pariwisata yang dilakukan di gunung cenderung kebablasan. Bali yang sempit ini jangan sampai sesak. Maka dari itu kesucian gunung mesti dijaga bersama oleh masyarakat Bali.
Akademisi dari Universitas Hindu Negeri (UHN) IGB Sugriwa, Dr. Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag., M.Par., Senin (6/2) dalam wawancara Bali Post Talk mengatakan, kawasan suci termasuk tempat suci sudah lama diatur dalam Bhisama PHDI tahun 1994. Ada aturan-aturan yang harus dipenuhi untuk tempat suci dan ruang-ruang yang ada di sekitarnya. “Tapi sebagai akademisi menurut saya, jangan kita menetapkan sesuatu kalau memang ada sesuatu. Walaupun tidak ada sesuatu, Bali tetap harus dijaga,” ujarnya.
Tata ruang kawasan suci termuat dalam Perda nomor 3 tahun 2020. Tidak hanya pura sebagai kawasan suci tapi juga gunung, pantai, danau, loloan, campuhan, dan sebagainya. Sebab, dalam konsep Hindu tidak hanya soal ritual tapi juga ada nilai-nilai yang harus dijaga pada kawasan suci tersebut. Seperti konsep nyegara giri atau nyegara gunung yang memiliki makna dan nilai tinggi. Konsep gunung bagi umat Hindu, diyakini sebagai sthana para Dewa bahkan Dewa Siwa pun diyakini bersthana di Gunung Kailash, India.
Maka dari itu dalam setiap momen perayaan atau event jika terdapat agenda memotong tumpeng. Maka bagian ujung tumpeng hendaknya dipersembahkan kepada Tuhan, baru kemudian di bagian bawahnya untuk dinikmati.
Konsep gunung ini diejawantahkan oleh umat Hindu di Bali ke dalam kehidupan sehari-hari umat terutama dalam bentuk banten. Simbol gunung menjadi tumpeng dalam bebantenan, sedangkan simbol laut sebagai unsur Pradana diwujudkan dalam bentuk penek berbentuk datar dalam sodan atau sesajen.
Begitu sucinya gunung bagi umat Hindu sehingga perlu pengaturan dan pengawasan ketat dalam pemanfaatan gunung sebagai daya tarik wisata serta objek wisata. “Pariwisata apapun yang dikembangkan di Bali, tetap mengacu pada Tri Hita Karana (THK) dan Sad Kerthi dan nilai-nilai yang terkandung,” ujarnya.
Nantinya gunung akan ditetapkan sebagai kawasan suci dalam Perda RT/RW, termasuk juga aktivitas pariwisata sebagai atraksi dan daya tarik. Untuk dapat menjalankan konsep dan menjaga nilai tersebut diperlukan sinergisitas dari pemerintah dengan stakeholder, termasuk juga pada pemandu wisata lokal serta guide harus diberikan pemahaman-pemahaman. Di era kemajuan saat ini, terkadang wisatawan datang tanpa guide. Oleh karena itu, pengaturan dan pengawasan itu harus dilakukan pemerintah bersama dengan stakeholder.
Gunung tetap bisa menjadi objek wisata namun harus ada pengaturan dan pengawasan ketat yang ditetapkan pemerintah dengan menggandeng berbagai pihak seperti tokoh agama, tokoh adat, insan pariwisata yang ada di kawasan suci baik gunung maupun pura, untuk membuat suatu peraturan yang memang nanti bisa memayungi kegiatan-kegiatan pariwisata itu.
Meskipun ia mendukung penetapan kawasan suci namun secara pribadi ia berharap jangan semua dijual untuk pariwisata. Komodifikasi pariwisata bisa saja terjadi kesucian juga tetap harus dijaga. Contoh penataan Pantai Yeh Gangga yang dipisahkan antara untuk upacara atau area suci dan ada yang untuk wisata. Begitu juga dengan penataan gunung, selain populer sebagai tempat camping dan tracking, gunung juga harus diatur pemerintah dan diketatkan penegakannya. “Law enforcement harus ada, harus diatur, bagaimana penegakannya, dan sanksinya bagaimana,” tandasnya.
Akademisi Unud Prof. Wayan Suartana, Selasa (6/2) mengatakan, ekonomi Bali yang tetap dibangun dengan kekuatan pariwisata yang berkelanjutan perlu dijaga. Pariwisata berkelanjutan bisa dimaknai sebagai industri yang pro terhadap lingkungan, penciptaan lapangan kerja, pengurangan kemiskinan, penurunan ketimpangan dan pro terhadap kelestarian budaya yang berbasis nilai.
Lompatan infrastruktur mempengaruhi roda perekonomian dan sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi karena iklim investasi yang kondusif. Pembangunan infrastruktur jangan mengorbankan Bali sebagai pulau yang kecil dengan ornamen-ornamen budaya yang unik.
Pulau yang kecil ini jangan sampai sesak karena industrialisasi yang masif. Untuk itu perencanaan berbasis tata ruang dan prediksi kebutuhan menjadi mutlak sebagai jangkar awal dalam pembangunan Bali. Pengelolaan tata ruang wilayah dengan menyediakan ruang kawasan suci dan kawasan wisata perlu untuk menjaga keseimbangan antara menjaga alam dan budaya dengan menjaga ekonomi dan pariwisata. (Citta Maya/balipost)