Kemala Atmojo. (BP/Istimewa)

Oleh Kemala Atmojo

Pemilihan Presiden dan angggota legislatif semakin dekat. Puncak acara Pilpres memang masih 14 Februari 2024, namun tahapan pemilu sudah dimulai sejak Juni lalu.

Selain menelusuri rekam jejak kandidatnya, calon pemilih sebaiknya bisa membedakan mana berita palsu atau bohong; mana iklan dan mana berita jurnalistik yang obyektif; mana informasi yang jujur dan mana yang sebenarnya propaganda belaka.

Apalagi di era Media Baru (new media) dengan aneka media sosial (social media) yang bisa digunakan sekarang ini, serbuan “gambar”, “data”, “video”, atau aneka informasi lainnya dapat dipastikan akan semakin banyak. Dan Bali, termasuk yang akan menjadi salah satu daerah sasarannya.

Propaganda? Ya. Ia bisa menyelinap di antara aneka bentuk informasi yang disebarkan. Sebagai salah satu bentuk komunikasi massa, propaganda tentu bermaksud memanipulasi opini masyarakat.
Namun, ada juga yang mendefinisikan propaganda sebagai proses komunikasi bersifat subjektif yang dilakukan secara sistematis dan meluas untuk memengaruhi pendapat khalayak tanpa perlu melahirkan sikap kritis. Dalam perkembangannya, berdasarkan sifatnya, ada yang menggolongkan propaganda menjadi tiga kelompok, yakni propaganda putih atau terbuka; propaganda hitam atau terselubung;
dan propaganda abu-abu. Propaganda putih adalah propaganda yang berasal dari sumber yang teridentifikasi dengan jelas, dan informasi dalam pesan cenderung – atau mendekati– akurat.

Baca juga:  Rapimnas Partai Gerindra Agendakan Penentuan Sikap Prabowo di Pilpres

Propaganda hitam adalah propaganda yang berasal dari pihak lawan. Isinya umumnya kebohongan, pemalsuan, bahkan penipuan.

Sedangkan propaganda abu-abu adalah propaganda yang asal sumbernya teridentifikasi, namun memposisikan diri seakan-akan netral padahal berasal dari kelompok lawan. Di dalam praktik, terutama di masa kampanye nanti (28 November 2023–10 Februari 2024), memang agak sulit membedakan secara tegas
mana kampanye yang jujur, mematuhi aturan, dan propaganda politik yang menyesatkan.

Tapi, definisi yang diberikan oleh undang-undang pemilu mungkin bisa menolong. Menurut undang-undang tersebut, Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu.

Jadi harus dilakukan oleh peserta pemilu atau juru
kampanye yang ditunjuk. Sedangkan menurut Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), kampanye adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri
Peserta Pemilu.

Baca juga:  Kajian antara Quality dan Quantity dalam Pariwisata

Jadi yang ditawarkan adalah visi, misi, dan program.
Semua ketentuan atau aturan yang ada dalam undang-undang pemilu dan peraturan komisi pemilihan umum itulah yang tidak ada dalam propaganda. Dalam propaganda tak ada pembatasan waktu, tak ada ketentuan harus jujur dan dialogis, misalnya. Apalagi dengan banyaknya platform media sosial saat ini, propaganda hitam bisa menyebar kapan saja, di mana
saja, oleh siapa saja, dan sebanyak yang mereka
suka.

Karena itu, sikap kritis tetap diperlukan untuk membedakan mana kampanye yang sesuai dengan aturan dan mana propaganda hitam. Ada beberapa teknik propaganda. Teknik name calling, teknik yang sangat populer dengan cara memberikan julukan kepada seseorang atau gagasan tertentu, yang bisa berkonotasi positif atau negatif. Misalnya, “Tirani”;
“Anti-demokrasi”; “Pentolan Teroris”. Lalu ada teknik Glittering Generality, mirip dengan yang pertama tadi namun lebih sering berupa pujian atau positif. Misal, “Bapak Infrastruktur”; “Merakyat”; dan lain-lain.

Baca juga:  Seribu Organisasi Daftar Jadi Relawan Ganjar

Selanjutnya teknik Transfer. Teknik ini berusaha memindahkan nilai-nilai tertentu untuk dipindahkan kepada orang atau hal lain.

Ada juga teknik Testemoni. Teknik ini menggunakan seseorang yang bereputasi tinggi untuk memberikan kesaksian atau pernyataan. Pernyataan itu kemudian dikutip dan ditampilkan sesuai dengan kebutuhan.

Teknik Plain Folks, teknik yang berusaha menampilkan
seseorang sebagai “masyarakat kebanyakan” atau orang biasa. Teknik Card Stacking, teknik yang mengangkat fakta atau isu tertentu yang menguntungkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, dan pada saat yang sama mengaburkan atau menenggelamkan fakta lain yang merugikan. Band Wagon, teknik yang mengajak orang untuk bergabung seperti yang sudah dilakukan oleh banyak orang lain.

Penulis meminati bidang filsafat, hukum, dan seni. Dosen tidak tetap Pascasarjana di Institute of Business Law and Managament (IBLAM)

BAGIKAN