Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Hari-hari ini Kepala Desa (Kades) di Indonesia sedang santer-santernya disorot buntut paska aksi demo damai
di Jakarta menuntut revisi UU 6/2014 tentang Desa. Siapa yang ngajari para Kades ngelunjak minta ini minta
itu.

Rasanya tak pernah orangtua dan pendahulu menggajarkan anak-anaknya untuk minta sesuatu apalagi dilakukan secara beramai-ramai atau demo. Rasanya sayang mereka gunakan waktunya untuk demo, akan lebih disayangi kala waktunya untuk turun gunung dan belajar bersama warganya.

Tanpa meminta pun orangtua akan memberikan anak-anaknya sesuai kebutuhan dengan menimbang asaz keadilan. Tak mungkinlah anak kuliah besaran uang sakunya sama dengan anak yang baru duduk di bangku SD.

Masih terngiang di sini, JF Kennedy puluhan tahun silam pernah menyuarakan, “Apa yang bisa kalian sumbangkan pada bangsa dan negara, bukan apa yang dapat diberikan negara kepada kita.”

Kalimat tersebut tentu saja sangat berseberangan dengan praktik demo para Kades baru-baru ini di Jakarta yang punjeran-nya lebih pada menuntut masa jabatan mereka diperpanjang hingga 9 tahun. Apa yang diperbuat para pendemo di atas rupanya di luar bahkan melawan nalar publik.

Baca juga:  Sekolah Dalam Zonasi Tata Ruang Kota

Betapa tidak, penghasilan tetap dan penghasilan tambahan sudah dikucurkan, dana operasional bagi pemdes dari pos dana desa, bantuan keuangan lain pun sudah digulirkan. Dana desa sendiri makin tahun trennya terus bertambah.

Ada ungkapan yang beredar cukup lama, sudah
dikasih hati ngerogoh rempelo. Jelas aksi Kades berdemo ke Ibu Kota negara bukan pada porsinya.
Bukankah jika pun mau mengusulkan minta perpanjangan masa jabatan bisa dilakukan lewat
forum atau kanal lain yang tidak mengumbar
kemacetan, bahkan disinyalir tak sedikit mereka
mengatasnamakan kepala desa se-Indonesia.

Dengan aksi demonya, para Kades berkilah layanan masyarakat tidak terganggu karena sudah dimandatkan ke Sekretaris Desa. Hemat penulis, itu hanya akal-akalan Kades, karena ada saja keperluan masyarakat yang harus dirembug dan diselesaikan di tangan Kades.

Mereka ke Jakarta tak lebih menyuarakan kepentingan dan keuntungan secara pribadi. Tak terhindar, sejatinya mereka hanya mengulur waktu agar bisa mengembalikan ongkos 0olitik yang sudah dikeluarkan untuk meraih kursi Kades. Apa kinerjanya kala seseorang hanya berjuang untuk kepentingannya sendiri atau kelompoknya.

Baca juga:  Mengubah Paradigma Mengajar

Uang dan uang menjadi konsentrasi mereka. Lain tidak. Seharusnya, para kades yang rata-rata cukup terpelajar itu tak gampang terjebak iming-iming atau goyah dengan imajinernya.

Suka tak suka, aksi demo Kades menyisakan soalan yang tak elegan, seperti mereka tidak merepresentasi suara Kades, lebih ditindih syahwat kekuasaan.
Hal ini penting kita tolak, karena kelakuan mereka ini tidak mendaraskan nilai edukasi, senses of crisis nya jeblok, karena tak sedikit rakyatnya yang masih terjebak dalam kemiskinan ekstrem.

Kedua, ketika pemaksaan kehendak hanya akan
mematahkan tunas regenerasi alias kader muda
kepemimpinan. Ketiga, sesungguhnya aksi mereka ini lebih pada keserakahan yang liar, karena regulasi pun sudah mengaturnya atas masa jabatan Kades. Mereka berimpresi mengada-ada dan sepertinya mereka sangat takut akan masa depannya.

Para Kades ini rupanya sudah keblinger. Terbuai dengan matematika cuan yang terus mengalirkan pundi-pundi ekonomi di saku bajunya. Mereka sebetulnya orang orang arif tapi sekali lagi perilakunya tidak arif, karena idealnya yang berdemo itu rakyatnya mengusulkan apresiasi atau reward kepada pemerintah atas kinerja
bagus para Kadesnya.

Baca juga:  Di 2022, Karangasem akan Gelar Pilkel di 51 Desa

Jadi, demo Kades ini sudah membalik dunia, salah kaprah. Mereka yang selalu mengeklaim dengan keberhasilannya dan selalu berlindung di bawah payung yang bernama atas nama rakyat. Maka kemudian, biarlah rakyat yang menilai, biarkan pihak lain yang memberi point.

Jadi tak etis rasanya, saat Kades merasa paling baik dan benar apalagi paling berjasa atas hidup warganya. Padahal Kades itu dihidupi para warganya. Akhirnya, penulis hanya bisa berdoa dan berharap kepada para Kades ini berhentilah menuntut atas apa yang belum tentu menjadi haknya.

Laksanakan dulu tugas dan peran dengan baik, predikat dan hadiah kemudian. Jangan pernah pasang target di kantong pribadi, tapi targetlah kerja-kerja Kades untuk menebalkan kantong ekonomi rakyatnya. Ada saatnya bicara, ada saatnya berbuat nyata. Penulis tidak alegi dengan segala rupa model demo, tapi akan lebih bernyawa dan dikenang rakyat ketika para Kades tersebut emo prestasi, demo kreasi dan demo inovasi untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat di desa.

Penulis, Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng

BAGIKAN