DENPASAR, BALIPOST.com – Kasus demam berdarah dengue (DBD) di Bali terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Diskes) Provinsi Bali, pada Januari 2023 sebanyak 781 kasus DBD terjadi di Bali.
Jumlah ini meningkat dibandingkan pada Januari 2022 yang mencapai 569 kasus dan 300 kasus pada Januari 2021. Kepala Diskes Bali, I Nyoman Gede Anom, menyebut 3 wilayah dengan kasus demam berdarah terbanyak di Januari adalah Denpasar sebanyak 296 kasus, Buleleng 100 kasus, dan Klungkung 95 kasus.
Sementara itu, di kabupaten lainnya juga dilaporkan munculnya kasus DBD. Rinciannya, Badung 89 kasus, Jembrana 70 kasus, Tabanan 65 kasus, Gianyar 26 kasus, Karangasem 23 kasus, dan Bangli 17 kasus.
Dari jumlah kasus tersebut, dua orang pasien meninggal dunia. Anom mengungkapkan alasan meningkatnya kasus DBD di Bali.
Pertama karena musim hujan. Apalagi hujan 1 sampai 2 hari yang menjadi pemicu puncak berkembangnya nyamuk, karena lembab dan genangan air. Kedua, upaya konvensional yang digaungkan selama ini, yaitu 3M dan pemberantasan sarang nyamuk masih belum efektif.
Terkait hal tersebut, Diskes Bali pun mendorong desa adat di Bali agar merancang suatu pararem/awig/awig (aturan adat) terkait pencegahan DBD di lingkungan masyarakat. Tujuannya, agar semua masyarakat adat bisa ikut terlibat dan bertanggungjawab untuk pencegahan dini DBD.
Menurutnya, masyarakat di Bali cenderung taat akan aturan adat yang ada dibandingkan himbauan menaati 3M. Sehingga dengan hadirnya pararem mengenai DBD akan lebih masif memberikan dampak positif untuk mencegah kasus DBD. “Masalah sanksinya bagaimana nanti, diserahkan kepada masing-masing desa,” ujar Anom, Minggu (12/2).
Anom mengungkapkan, bahwa Provinsi Bali kini akan menerapkan teknologi Wolbachia dalam penanganan kasus DBD. Penyebaran nyamuk wolbachia akan berinteraksi dengan nyamuk Aedes aegypti dan tidak akan lagi mengandung virus DBD.
Selain itu, Diskes Bali juga akan mengembangkan teknologi deteksi dini daerah yang akan timbul DBD yang bekerjasama dengan BMKG. Nantinya 3 wilayah akan dikategorikan dengan warna merah, kuning, dan hijau. Ketika suatu daerah ditandai sebagai zona merah, maka akan dilakukan fogging di lokasi tersebut.
Sementara ketika zona hijau, akan mengefektifkan 3M karena zona tersebut menandakan terdapat telur nyamuk Aedes Aegypti. Sementara itu, ketika suatu daerah ditandai sebagai zona kuning, maka harus mengefektifkan 3M sekaligus fogging, dikarenakan pada daerah tersebut telur nyamuk Aedes Aegypti telah menetas dan menjadi nyamuk dewasa.
Untuk menyukseskan berbagai upaya ini, Anom meminta dukungan dari semua pihak. Terutama peran serta masyarakat untuk bersama-sama menekan penyebaran kasus DBD.
Sebab, teknologi apapun yang dilakukan apabila tanpa peran serta masyarakat, upaya itu akan gagal. “Yang terpaling penting adalah pemberdayaan dan peran serta masyarakat, dan ini tak hanya untuk penyakit DBD saja, tetapi penyakit apapun,” pungkasnya. (Winatha/balipost)