JAKARTA, BALIPOST.com – Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengapresiasi vonis majelis hakim tipikor kepada Mardani H Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Mardani dijatuhi hukuman 10 tahun penjara karena dinilai bersalah dalam kasus suap izin usaha pertambangan (IUP).
Menurut Bonyamin, pelajaran utama yang bisa dipetik dari vonis atas Mardani, siapapun yang menjadi penjabat agar menghindari konflik kepentingan. Yaitu, tidak mencampuradukkan antara kepentingan pribadi atau kepentingan kelompoknya dengan kepentingan kekuasaan.
Contoh dalam kasus Mardani, boleh-boleh saja (penjabat) memindahkan izin tambang, memberikan izin tambang, mencabut izin tambang, tapi dengan ukuran yang jelas dan tidak ada maksud tersembunyi untuk mendapatkan sesuatu. “Jadi menghindarkan diri dari keinginan keinginan pribadi dalam mengambil kebijakan,” kata Boyamin.
Sayangnya, lanjut Boyamin, masih sangat banyak penjabat kita yang tidak paham akan hal itu. “Masih dianggap biasa-biasa saja kalau memberikan sesuatu ke level birokrasi, yang seakan-akan memang berhak mendapatkan upah. Padahal kan dia (penjabat) ditugaskan, digaji negara untuk menjalankan wewenang itu secara adil,” paparnya.
Ia menilai keputusan hakim sebagai vonis yang wajar. “Saya merasa sudah pas lah 10 tahun itu, ya tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan, sedang atau rata rata,” kata Boyamin, Minggu (12/2).
Mardani, dikutip dari Kantor Berita Antara, telah divonis majelis hakim tipikor di Pengadilan Negeri Banjarmasin pada Jumat (10/2) dengan pidana 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta, plus membayar uang pengganti Rp110 miliar setelah terbukti menerima suap.
Boyamin yang ikut mengawal kasus tersebut agar bisa penyidikan sampai ditetapkan tersangka oleh KPK, mengaku tertawa jika Mardani setelah mendengar vonis tetap merasa difitnah. “Ini kan proses hukum, masa dianggap fitnah? Begitu kan? Jadi ya saya agak ketawa saja lah kalo dianggap ini fitnah,” kata Boyamin.
Sebab sejak awal kasus mencuat, lanjut Boyamin, Mardani telah diduga melakukan konflik kepentingan dengan memperdagangkan pengaruhnya selama menjabat Bupati Tanah Bumbu, yakni mengalihkan IUP kepada perusahaan milik Hendri Soetio. “Dengan kompensasi seakan-akan ada kerja sama. Padahal dalam kerjasamanya itu diduga tidak setor modal dan tidak bekerja. Jadi ya otomatis, kalau Pak Mardani bukan Bupati, apa kira-kira dia dikasih oleh Hendri Sutio?” paparnya.
Menurut Boyamin, sejak awal kasus mencuat, sudah ada dugaan bahwa kerja sama antara perusahaan Hendri Sutio (yang mendapat IUP dari Bupati Mardani) dengan perusahaan yang terafiliasi Mardani hanya kamuflase. Mardani memberi IUP kepada Hendri dengan imbalan yang dikamuflase seolah ada kerja sama antara dua perusahaan.
“Jadi kalau bahasa sederhananya, diduga seperti ini lho ya, bagian dari kickback. Kalau diluaran disebut jatah preman, karena dia (Mardani) yang punya kewenangan untuk mengalihkan, maka dia mendapat bagian. Tanda kutipnya kan seperti itu, sehingga hakim juga memahaminya sebagai sebuah perbuatan korupsi,” paparnya.
Oleh sebab itu, vonis hakim 10 tahun menjadi wajar karena adanya konflik kepentingan atau conflict of interest yang dilakukan Bupati Tanah Bumbu saat itu.
“Dan ketika oleh hakim ini divonis bersalah, berarti kan menurut hakim juga kamuflase. Itu yang tidak dipahami oleh Pak Maming,” katanya.
Mardani saat menanggapi vonis hakim mengaku difitnah. “Terima kasih, Yang Mulia. Apa yang disampaikan Yang Mulia yang mana dianggap korupsi itu adalah pendapatan perusahaan yang dijadikan sebagai alat korupsi. Saya merasa itu tidak benar dan itu semuanya menjadi fitnah kepada diri saya,” kata Maming yang mengikuti sidang pembacaan vonis secara virtual dari Gedung KPK Jakarta Selatan.
Mardani meminta waktu tujuh hari untuk memutuskan apakah akan banding atau tidak terhadap vonis tersebut karena akan berkonsultasi terlebih dulu dengan kuasa hukumnya. (kmb/balipost)