Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.
Gubernur Koster sedang menebus dosa masa lalu dan menyintas ironisme kuno lewat Perda Perlindungan Bahasa Bali dan berbagai implementasi program. Hanya pada masa pemerintahannya satu festival bahasa diselenggarakan di desa-desa seantero Bali. Tiap Februari Bali hiruk-pikuk dengan Bulan Bahasa Bali.
Ironisme kuno dan dosa masa lalu. Ironisme yang dimaksud adalah masyarakat Bali buta aksara padahal bahasa Bali adalah hanya sedikit dari bahasa lokal di dunia yang memiliki aksara. Sangat sedikit pula kelompok masyarakat yang melek aksara. Hal ini tentu dipicu musababnya. Politik ilmu pengetahuan yang dilaksanakan di Bali dalam simbiosis mutualisme kasta yang dikemas dengan sangat logis dan santun atas nama peradaban Bali yang adiluhung.
Masyarakat dibuta-aksarakan secara halus. Sementara itu, ada jaminan dari kelompok lain yang seolah berkorban untuk melayani pengetahaun sosial. Sejatinya ini permainan cantik politik pengetahuan dengan mengunci pintu masuknya: melek aksara yang dikemas apik dengan “ajawera” karena pada masa itu Bali mempraktikkan “scientia potentia est” .
Dosa masa lalu berkaitan dengan praktik-praktik pembutaksaraan dan pembodohan sistemasis. Namun demikian dengan satu jasa yang satu paket dengan sistem kasta kebutuhan pengetahuan masyarakat seolah dijamin atau dilayani meski hanya secara lisan dalam sistem patron clien. Walaupun hampir seluruh khazanah pengetahuan Bali disimpan di dalam lontar dan terutama khazanah sastra yang juga tidak kalah kaya dan pentingnya dengan pengetahuan lain seperti wariga, usada, pamancangah, dll., berkat jasa para seniman di panggung pertunjukan, para sangging, undagi, pelukis, dalang, seka gambuh; masyarakat Bali pun melek sastra lewat jalur lisan dan visual.
Di tengah ironisme dan kebutakasaraan itu, Bapak Gubernur Wayan Koster, menyelenggarakan Bulan Bahasa Bali tiap tahun. Program ini setidaknya menghadirkan iklim kebahasaan yang sangat baik. Masyarakat Bali diingatkan dengan bahasanya.
Hebatnya, Bulan Bahasa Bali tidak dilaksanakan terpusat tetapi merata di seluruh desa di Bali. Lewat kegiatan ini ditegaskan bahwa bahasa Bali memiliki “tanah” dan “air” di desa-desa. Di sinilah keluarga-keluarga Bali berkembang. Berbagai festival atau perlombaan selama Bulan Bahasa Bali adalah satu kritik, saran, dan dorongan agar menggunakan bahasa Bali dalam kehdupan sehari-hari, lebih-lebih di pedesaan. Namun demikian, dengan tetap menjunjung tinggi keunggulan dan kebijakansaaan program Bulan bahasa Bali ini, ada baiknya juga menyimak beberapa catatan.
Bulan Bahasa Bali dengan berbagai kegiatan identik dengan perlombaan. Lomba ini hendak menerobos hambatan-hambatan yang menjadi garis demarkasi antara masa lalu dan abad digital. Kegiatan bahasa dan sastra tidak perlu memaksanakan diri untuk menolak atau melawan modernisasi dan digitalisme. Karena itu pada berbagai lomba atau festival selama Bulan Bahasa Bali harus ada materi-materi yang inovatif, materi-materi yang berkaitan dengan disrupsi dan digitalisme. Panitia Bulan Bahasa Bali di desa-desa dituntut berpikir dalam kerangka modernisasi dan digitalisme. Tentu mesatua zaman agraris tidak sama dengan mesatua zaman internet. Jangan selalu berbagai lomba atau kegiatan Bulan Bahasa Bali ini, dijadikan kontainer atau gerbong yang suara lokomotifnya berdentam menapaki rel panjang meliuk dan berkelok ke masa lalu. Hal ini masih sangat kuat terasa. Festival selama Bulan Bahasa Bali berorientasi kepada sistem ekonomi dan kehidupan sosial Bali jauh pada masa subak.
Festival ini adalah salah satu jalan untuk memodernisasi bahasa Bali. Karena itu, materi-materi yang dikembangkan di dalam perayaan ini harus merujuk berbagai piranti atau infrastruktur teknologi digital dan disrupsi. Jangan tinggalkan bahasa Bali di tengah jalan Revolusi 4.0. Bahasa Bali harus dibawa serta ke dalamnya dan digunakan setara dengan bahasa internasional atau bahasa-bahasa etnik yang umum dijumpai di media sosial, misalnya!
Kesadaran baru untuk menggunakan bahasa Bali dalam bingkai migrasi dari subak ke peradaban digital, dibutuhkan. Cerita-cerita dan kakawin lahir di masa surplus padi dan palawija dalam sistem kerta masa yang sangat murni berideologi organik. Peradaban virtual juga melahirkan bahasa sebagai firanti lunak yang menyebabkan sistem tekniknya bisa bergerak dalam menjalankan berbagai fungsi.
Bulan Bahasa Bali dengan aneka festival atau perlombaan dijadikan ajang untuk saling mengukuhkan baerbagai usaha pengembangan bahasa Bali di era disrupsi dan digital. Orang Bali sebagai pemilik bahasa ini, yang pada umumnya dwibahasawan menyadari betapa penting menggunakan bahasa ini dengan kesdaran positif dan politis di ruang-ruang media sosial. Kesadaran itu adalah cara massal menyambut program politik bahasa Bali Bapak Gubernur. Festival dan lomba di ajang Bulan Bahasa Bali tentu tidak cukup karena itu harus menjadi motivasi dan inspirasi untuk membangun sikap positif terhadap bahasa Bali, yang tidak cukup hanya mengagumi atau memuliakan tetapi di atas semua tindakan semu itu, adalah menggunakan bahasa Bali. Sebab, denyut nadi kehidupan bahasa Bali saat ini adalah ujung jemari dan gawaiyang menjadi alat ucapak digitalisme. Bukan lagi pertunjukan drama gong di desa-desa perkebunan kopi perayaan panen; bukan lagi pertunjukan wayang kulit dengan tata lampu temaram dan muram di sudut ritual nelubulanin.
Sudah waktunya untuk menydahi nostalgia kehidupan bahasa Bali di masa lalu, ketika Bali terlibat perang-perang sauadara, perayaan mesatia bagi selir tercantik raja, atau ketika Bali masih aman sempurna instalasi air subak-subaknya, ketika orang Bali hanyalah ekabahasawan. Bahasa Bali ya bahasa Bali hari ini. Bulan Bahasa Bali adalah merayakan bahasa Bali hari ini, bahasa yang tidak hanya bersaing dan bersanding dengan bahasa asing, bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa yang para penuturnya hidup pada realitas baru: virtual dan digitalisme.
Penulis, Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali.