Oleh Dr. A.A. Ketut Patera
Upacara ngaben dilaksanakan oleh masyarakat Hindu Bali dimanapun berada dengan bentuk komitmen individu dan kelompok terhadap keluarga, adat dan agama. Hal ini berdasarkan dengan ajaran dari agama Hindu bahwa kematian ini tidak dapat di akhir dari segalanya, melainkan melalui proses yang panjang awal perjalanan jiwa menuju Parama atman.
Ritual Ngaben seringkali sangat energik dan paling berwarna dari semua ritual lainnya. Gagasan ini memberikan motivasi umat Hindu untuk melestarikan upacara kematian yang sering tampak sangat energik. Sebagian umat Hindu, upacara Ngaben memiliki perhatian yang sangat unik sehingga dilakukan sangat khusyuk, penuh pengabdian, bahkan sesekali sangat sakral dan enerjik. Hal ini disampaikan Agung Patera dalam promosi doktor ilmu komunikasi di Universitas Sahid Jakarta dengan judul disertasi “Etnografi Komunikasi Ritual Ngaben Umat Hindu Bali di Jakarta, Kamis, 9 Februari 2023.
Panjangnya prosesi Ngaben, menjadikan kegiatan tersebut tidak dapat dilaksanakan di sembarang tempat. Seluruh rangkaian upacara ngaben tersebut dari: awal persiapan (nyiramin/memandikan) jenasah sampai dengan berakhirnya (ngising/pembakaran), umumnya dilakukan secara sakral dan mengikuti aturan dan tuntunan dari sulinggih (orang suci) kondisi tersebut sering membawa orang Hindu di Bali yang homogen pada posisi harus menerima dan mengikuti setiap petunjuk dan arahan dari sulinggih.
Berbeda halnya dengan umat Hindu di Jakarta yang heterogen serta kolaborasi yang multikultur dalam berbagai sendi kehidupan dengan umat Hindu lainnya seperti etnis Jawa, Maluku, Sumbawa dan daerah-daerah lainnya yang memiliki cara dan kemampuan yang berbeda–beda. Penyesuaian prosesi upacara ngaben atau pitra yadnya ini terjadi karena berbagai pertimbangan, diantaranya kondisi ekonomi dan lingkungan sosial budaya. DKI Jakarta, terdapat Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 tahun 2007 tentang pemakaman bahwa berdasarkan Perda tersebut, prosesi Ngaben seperti layaknya di Bali tidak memungkinkan untuk dilaksanakan pada wilayah DKI Jakarta, karena adanya peraturan yang membatasi waktu penyimpanan jenazah.
Proses tersebut tentunya kurang sejalan dengan prosesi ngaben, karena bagi anggota masyarakat yang mampu, pelaksanaan ngaben harus dilakukan berdasarkan hari baik dalam perhitungan kalender Hindu Bali. Sementara bagi kelompok yang tergolong tidak mampu, upacara ngaben harus dilakukan hingga biaya dan tenaga tersedia. Jika dalam masa penantian tersebut jenazah dimakamkan terlebih dahulu, maka proses penguburan harus lebih dari 1 tahun, baru dapat digali kembali setelah mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
Fenomena yang terjadi saat ini di Masyarakat Banjar Jakarta Utara memahami bahwa upacara Ngaben sebagai sebuah ritual yang wajib dilaksanakan walaupun di daerah rantauan namun disisi lain harus menyesuikan dengan keadaan setempat hal inilah perlu penyelarasan dengan komunikasi-komunikasi yang intens agar dapat mewujudkan pola sesuai dengan kondisi dan keberadaan umat Hindu di Jakarta Utara. Dengan semangat kebersamaan di tempat rantauan dan memahami konsep peribahasa “dimana bumi di pijak disana langit di junjung” pesan yang disampaikan agar mematuhi peraturan di tempat yang didiami. Dengan kata lain, seseorang harus bisa beradaptasi dengan tempat tinggalnya (bukan hanya tempat asal), untuk dapat diterima dengan baik.
Maka terwujudlah suatu kesepakatan hal bentuk dan pola ngaben dengan adaptasi yang dilakukan saat ini di Banjar Jakarta Utara yang dirasakan oleh umat Banjar Jakarta Utara sangat baik dan tidak menjadi beban yang berat bagi umat di kala ada kedukaan. Upacara ngaben dengan penyesuaian atau adaptasi ini sangat membantu umat, terutama umat Hindu di luar Bali khususnya yang berada di Jakarta.
Penyesuaian Ngaben ini berjalan dengan baik tanpa mengurangi nilai dan makna ngaben pada umumnya. Juga menjadi pondasi terbentuknya konsep ngaben yang sederhana di kalangan Umat Hindu di Banjar Jakarta Utara sehingga dapat mewujudkan keharmonisan. Agung Patera berhasil mempertahankan disertasinya dan dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan serta berhak dengan gelar doktor bidang ilmu komunikasi.
Penulis, Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta