Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Ke arah mana sebenarnya kesejahteraan itu bergerak? Inilah pertanyaan yang diusahakan jawabannya dalam artikel kali ini. Ke arah mana berarti ke arah yang menjadikan masyarakat tidak berkesempatan untuk menjadi jatuh miskin. Kesempatan yang menjadikan jatuh miskin itulah yang selayaknya ditutup.

Seterusnya tidak menjadi miskin itulah yang pintunya terus dibukakan oleh berbagai pihak ataupun yang memiliki kesempatan untuk itu. Kemampuan untuk tidak menjadi jatuh miskin adalah kemampuan yang patut dipertimbangkan asal tidak menjadikan penderitaan bagi orang lain. Dengan perkataan lain kemampuan tersebut adalah kemampuan yang komprehensif. Kemampuan tersebut dapat menjadi sebuah sasaran nasional.

Kemampuan untuk tidak menjadi miskin adalah sebuah bentuk kebudayaan tersendiri. Kebudayaan yang kelak sebagai sebuah budaya ataupun kemampuan yang mentradisi dalam masyarakat. Sebuah kemampuan adiluhung yang menghindarkan bangsa, masyarakat maupun negara untuk tidak dijatuhkan ataupun terjatuh dalam jurang kemiskinan. Jangankan jurang, jalan kemiskinan pun sudah cukup menakutkan. Terutama menakutkan itu jika menimbulkan penderitaan. Terutama lagi penderitaan yang berkelanjutan. Penderitaan yang berkelanjutan memang menimbulkan multi tafsir. Namun satu yang tak dapat ditolak adalah penafsiran yang menjadikan kemiskinan itu sebagai merambat mengakar ataupun akarnya merambat sampai ke mana-mana adanya.

Baca juga:  Masih Banyak Rakyat Miskin, Salah Siapa?

Ke mana arah dari kesejahteraan bukanlah sebuah perdebatan sengit adanya itu melainkan sebuah kesempatan solutif yang diperkenankan. Diperkenankan sesegera mungkin jika mungkin untuk diterapkan. Penerapan dari kemungkinan adanya kesempatan yang solutif dapat debatable. Mungkin tidaknya diterapkan bergantung dua hal yaitu pertama, tidak menjadikan itu sebagai barang final tanpa koreksi dan kedua patut dipertimbangkan keberlanjutan yang membahagiakan bagi semua pihak. Sekalipun sepertinya ada pernyataan politik bahwa tidak mungkin kita bisa membahagiakan semua pihak. Pernyataan serupa itu patut diujikan kembali mengingat kehidupan berbangsa dan bernegara itu bukan semata-mata untuk satu kelompok saja ataupun bahkan untuk sederhananya untuk satu dan dua orang semata.

Ke arah mana sebenarnya kesejahteraan itu bergerak bukan sebagai bentuk pertanyaan melainkan sebagai bentuk pernyataan yang perlu. Inilah sebuah pergerakan dari pertanyaan kepada bentuk-bentuk pernyataan sehingga menjadikan kemungkinan untuk mengoreksinya semakin terbuka sehingga tidak berhenti dari pengajuan pertanyaan saja. Oleh karena itu, diperlukan perangkat jawaban yang mengarah kepada kepastian. Kepastian untuk menutup celah kesempatan sebagai miskin adanya itu.

Baca juga:  Liburan Nataru, Bukti "Hospitality" Bertumbuh

Uji kepastian itulah yang seringkali sebagai momok dalam membantu kemiskinan menjadi terlenyapkan secara lebih tuntas adanya. Untuk itulah pada kesempatan tulisan ini ditawarkan sebuah gagasan yaitu tidak menutup pintu kemiskinan mutlak melainkan mutlak menutup pintu kemiskinan. Menutup pintu kemiskinan berarti tidak membiarkan kemutlakan kemiskinan dijadikan sebagai sesuatu yang mesti terjadi ataupun ada bahkan dalam berbagai bentuk pembangunan apapun juga itu. Oleh karena itu maka sembari membangun sembari juga menutup kemiskinan mutlak ada.  Seterusnya tidak akan ada dampak dari pembangunan yang memiskinkan yang lain namun bergerak secara bersama bahwa kegiatan pembangunan memberikan dampak kesejahteraan penting untuk semua. Kegiatan sedemikian itulah yang sepatutnya diperjuangkan sehingga kelak negara kita adalah negara yang dikenal dengan kebudayaannya yang mendukung untuk pembangunan yang berbudaya atas dasar politik ekonomi yang mendukung bahwa tidak diperkenankan adanya kegiatan pembangunan berkelanjutan yang melanjutkan adanya dampak memiskinkan yang lain itu adanya.

Kesimpulan dari jawaban atas pertanyaan dalam paragraf pertama adalah pertanyaan tersebut mesti dievaluasi secara kritis. Artinya pertanyaan tertentu bisa muncul selain pertanyaan itu sebagai pendukung ataupun penggantinya. Seterusnya, dapat diajukan jawaban bahwa tidak mungkin ada pembangunan tanpa menimbulkan dampak dan dampak tersebut semoga memberikan dampak yang konstruktif atas terciptanya pintu kesejahteraan sehingga jalur kemiskinan dapat dihindarkan sedari awalnya. Kesimpulan berikutnya adalah simpul-simpul yang tersimpan dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan mesti pula dievaluasi agar tidak kemudian takut atas apa yang telah dilakukan melainkan berani untuk berbuat yang lebih baik lagi atas apa yang telah dilakukan itu sehingga berkelanjutan artinya adalah berlanjut tidak miskin dan berhenti untuk menjadi miskin.

Baca juga:  Menyambut Asesmen Kompetensi Minimum

Ke arah mana kesejahteraan kemudian diarahkan sudah pasti diarahkan kepada pembentukan kemauan politik ekonomi yang berbudaya kepada atas kebiasaan yang mampu menunjuk kepada kreativitas masyarakat dengan berdasarkan kepada kemampuan yang terus mengakar secara konstruktif kritis. Itu berarti bahwa kemampuan menjadikan kebiasaan untuk tidak berhenti menjadi tidak mampu. Tidak mampu berarti berhenti ada. Keberadaan untuk tidak mampu itulah sebagai faktor utama yang patut diperjuangkan agar kelak sebagai berganti menjadi berkemampuan.

Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN