Prof. Dr. Ir. Gede Sedana,M.Sc., M.M.A. (BP/kmb)

DENPASAR, BALIPOST.com – Beberapa waktu ke belakang, Bali dihadapkan pada persoalan kenaikan harga beras. Sementara beras adalah lokomotif harga pangan lain sehingga akan memicu kenaikan harga bahan pangan lain. Dalam mewujudkan swasembada pangan, Gubernur Bali memprioritaskan pertanian dalam program Ekonomi Kerthi Bali untuk dikembangkan. Hal itu untuk mewujudkan Nangun Sat Kerthi Loka Bali.

Pengamat pertanian yang juga Rektor Dwijendra University, Dr. Ir. Gede Sedana,M.Sc., M.M.A., dalam Dialog Merah Putih Bali Era Baru dengan tema ”Tantangan Bali Swasembada Beras demi Terwujudkan Nangun Sat Kerthi Loka Bali,” Rabu (22/2) mengatakan, mewujudkan swasembada beras harus benar-benar diimplementasikan. Gubernur Bali dalam Ekonomi Kerthi Bali menempatkan pertanian pada prioritas utama. Namun yang menjadi tantangan dan perlu dilanjutkan adalah harus ada implementasi nyata.

Dalam mewujudkan hal itu ada beberapa komponen yang mendukung yaitu pasar dan terbentuknya harga yang ideal bagi petani. “Jadi ada pembeli dan terbentuk harga. Harga yang diidamkan adalah harga yang dapat membuat kehidupan petani semakin layak. Kita hitung berapa produksi yang dikeluarkan petani untuk mengolah lahan per hektarnya, termasuk tenaga kerjanya. Selisih itulah yang menjadi besaran harga. Bukan komoditas yang diutamakan tapi SDM-nya yaitu petani,” jelasnya.

Baca juga:  Nusa Dua Bali Akan Dihebohkan Bali Blues Festival 2017

Selain itu penyuluh pertanian juga harus digarap. Sementara di Bali, penyuluh pertanian jumlahnya terbatas. Komponen lain dalam menyukseskan swasembada beras menuju Nangun Sat Kerthi Loka Bali adalah pihak lain yaitu swasta harus digandeng oleh pemerintah.

Salah satu yang menjadi dasar atau pegangan dalam mewujudkan hal itu adalah data. “Perdebatan data antara pertanian, perdagangan, Bulog, BPS, ini menjadi pertanyaan berapa sebenarnya produksi kita. Pastinya Indonesia memiliki data sangat rinci tentang produksi beras walaupun sifatnya dinamis. Artinya dari tahun ke tahun akan terlihat mulai dari luas lahannya berapa, penanamannya sehingga akan terlihat berapa stok dan produksi serta konsumsi beras kita. Barulah kita sebut swasembada,” ujarnya.

Faktanya harga beras naik. Hal itu bisa karena suplai menurun atau demand meningkat. Jika yang terjadi suplai menurun, maka swasembada perlu dikaji lagi. Menurut Gede Sedana perlu kembali membuka data berapa produktivitas dan berapa luas tanamnya. “Celakanya, kita masih menghitung produktivitas dengan metode ubinan. Ubinan dihitung berdasarkan sekian meter kali sekian meter lalu dikonversi ke hektar. Perhitungan itu bisa saja terjadi kesalahan,” tandasnya.

Baca juga:  Laporkan, ASN Tidak Netral di Pemilu 2024

Perlu teknik penghitungan jumlah produksi juga sehingga data yang disampaikan ke publik benar-benar mendekati riil baik data dari sisi produksi, konsumsi. “Dari sisi konsumsi juga harus dilihat siapa yang mengonsumsi beras. Apakah manusia- manusia yang ada di Indonesia ataukah ada yang diselundupkan keluar, kita engga tahu,” imbuhnya.

Sekretaris HKTI, Dr. Drh. I Ketut Gede Nata Kesuma, M.M.A. mengatakan, untuk mewujudkan swasembada beras dan pangan sesuai tupoksi HKTI antara lain memberikan advokasi pada petani dan bimbingan teknis. Dengan upaya tersebut membuat produk beras di Bali optimal dan bahkan surplus.

Menurutnya, saat ini Bali surplus beras karena produksi Gabah Kering Giling (GKG) mencapai 600 ribu ton. Sementara dari gabah ke beras terjadi penyusutan sehingga produksi beras mencapai 575 ribu ton. Sedangkan analisa neraca kebutuhan beras yaitu 390 ribu ton sehingga Bali surplus beras 155 ribu ton.

Baca juga:  Implementasi Ekonomi Kerthi Bali Harus Dilanjutkan Kepemimpinan Koster-Ace

Permasalahan yang terjadi selama ini adalah petani menjual dalam bentuk gabah ke penebas, yang mana nilai yang diperoleh petani lebih kecil dibandingkan jika petani menjual dalam bentuk beras. Maka dari itu petani harus dibentengi jangan menjual dalam bentuk gabah. Pemerintah harus menyiapkan infrastruktur supaya Rice Milling Unit (RMU) bisa dibangun sehingga gabah tidak keluar Bali atau dijual ke luar.

Praktisi pertanian, I Wayan Dirgayana mengatakan, petani membutuhkan perlindungan dalam bertani. Lembaga subak yang dulu memainkan peran sangat masif menurutnya sangat berperan dalam melindungi petani. Lewat subak pun petani mendapatkan pembinaan.

Jika ingin memajukan pertanian di Bali, kata dia, maka pendekatan yang bisa dilakukan harus dengan pendekatan budaya, karena bertani adalah bagian dari budaya Bali. Termasuk pembagian air di dalamnya, peran subak sangat terlihat. Meski demikian ia mengapresiasi upaya Gubernur Bali, Wayan Koster, telah menempatkan pertanian sebagai prioritas pembangunan dengan dibangunnya bendungan dan waduk yang juga bermanfaat bagi pertanian. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN