Tangkapan layar - Penjelasan prakiraan cuaca oleh Pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam Disaster Briefing diikuti daring di Jakarta, Selasa (28/2/2023). (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, mengatakan bahwa terdapat sejumlah daerah dengan peluang hujan cukup tinggi, namun sifatnya hanya sementara. Bahwa di Dasarian I Maret 2023 curah hujan di Indonesia pada kategori rendah dan menengah, sehingga perlu diwaspadai adanya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

“Secara keseluruhan Indonesia memiliki hujan kategori rendah dan menengah. Tapi meskipun demikian ada peluang hujan cukup tinggi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Papua. Meskipun ini temporary atau tidak dengan durasi yang cukup panjang,” kata Abdul dalam Disaster Briefing diikuti daring di Jakarta, dikutip dari Kantor Berita Antara, Selasa (28/2).

Baca juga:  KPU Berikan Partai Prima Kesempatan Perbaikan Dokumen Persyaratan

Dengan demikian Abdul mengharapkan kejadian bencana hidrometeorologi basah seperti banjir dan tanah longsor dapat berkurang pada Dasarian I Maret, terutama intensitas hujan di Jawa.

Abdul meminta masyarakat tetap waspada pada musim peralihan di Maret yang mulai agak menghangat, dengan potensi kekeringan dan kebakaran hutan kembali lagi ke tahun 2019. “Karena dalam tiga tahun terakhir 2020-2021-2022 kita dipengaruhi oleh La Nina. Artinya ada faktor-faktor regional yang mempengaruhi di bawahnya uap hujan ke Indonesia, sehingga sepanjang tahun dalam tiga tahun terakhir ini kita istilahnya musim kemarau pun, kita istilahnya kemarau basah,” kata Abdul.

Baca juga:  Terapkan E-Tilang di Bali, Delapan Kamera ETLE Disebar di Lokasi Ini

Kemudian dari 2023 ini meskipun saat ini Indeks Nino-nya itu masih di bawah nol, artinya uap airnya masih cukup tinggi, tetapi diprediksi itu mulai Maret, April sampai nanti di musim kemarau akhir Agustus dan awal September, tingkat kekeringan atau uap air di udara itu tidak sebanyak dalam tiga tahun terakhir ini, dan kembali ke kondisi normal seperti 2018 dan 2019.

Baca juga:  Tak Bercukai, Rokok Bergambar Caleg dan Parpol Beredar di Jembrana

“Kalau kita bicara seperti itu maka kita harus mewaspadai kekeringan dan karhutla. Biasanya di Indonesia itu adalah Riau, Jambi dan Sumatera Selatan. Tetapi dalam tiga tahun terakhir meskipun kita musim basah itu ada indikasi kenaikan kerentanan kawasan timur Sumatera Utara, dan kawasan Provinsi Aceh terhadap karhutla,” kata dia.

Menurut data yang dipaparkan Abdul, ada indikasi kenaikan intensitas dan jumlah kejadian pertahunnya, dari Sumatera Utara dan Aceh, yang harus waspadai selain provinsi-provinsi yang memang secara historis sangat sering terjadinya bencana karhutla. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN