Ilustrasi seseorang melakukan "live streaming" untuk berjualan. (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Lulusan Kedokteran lebih marak yang memilih untuk menjadi kreator konten dan influencer ketimbang praktik menjadi tenaga medis. Hal itu dikatakan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik (Karokomyanlik) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Siti Nadia Tarmizi, seperti dikutip dari Kantor Berita Antara, Kamis (2/3).

“Itu kan pilihannya kita tidak bisa memaksa orang, pilihan pekerjaan itu hak asasi manusia,” Kata Siti.

Siti mengatakan, justru dokter yang menjadi influencer memiliki dampak yang juga besar kepada masyarakat, utamanya untuk mengedukasi. Menurutnya, lulusan kedokteran memiliki kompetensi untuk memberikan pengobatan, mengambil tindakan atas suatu kesimpulan pemeriksaan, sehingga akan menjadi influencer yang lebih berbobot, bila memilih profesi tersebut.

Baca juga:  Kemenkes Perluas Jaringan Labotarium Penelitian Cacar Monyet

Namun Siti mengatakan, etika dalam menggunakan media sosial harus diperhatikan. Kebebasan berekspresi, menurutnya, juga memiliki batasan pada koridor-koridor tertentu. Hal ini perlu diterapkan agar tidak menyinggung apa lagi menyakiti pihak lain. “Justru memiliki modal yang lebih baik karena dia memiliki pengetahuan dan kompetensi perihal kedokteran. Jadi kalau dia jadi influencer harusnya bisa lebih mengedukasi,” ujar Siti.

“Saya yakin berselancar di media sosial juga ada etikanya, jadi tolong diingat itu,” tambahnya.

Baca juga:  Presiden Gratiskan Vaksin COVID-19 untuk Masyarakat

Di sisi lain, Siti mengakui jumlah tenaga medis spesifiknya dokter yang sangat minim, dan hingga saat ini masih menjadi isu dunia kesehatan di Tanah Air.

Karokomyanlik Kemenkes ini menyebut hingga saat ini, rasio perbandingan antara dokter dengan jumlah penduduk Indonesia adalah 0,06 per seribu penduduk. “Pilihan seorang dokter yang sudah menyelesaikan pendidikannya kemudian memilih profesi lain ya kita tidak bisa memaksakan, itu adalah pilihan, tapi harus kita akui jumlah dokter itu memang kurang,” Kata Siti.

Baca juga:  Target Bebas Malaria 2030, Daerah Indonesia Timur Banyak yang Endemis

Sebelumnya Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, Indonesia masih kekurangan 160.000 dokter. Dia memperkirakan, diperlukan waktu setidaknya 14 tahun untuk memenuhi kekurangan jumlah tersebut.

Menkes menyebut, kurangnya dokter mengacu pada standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan rasio, dokter seharusnya 1 per 1.000 populasi. Artinya, jika penduduk RI mencapai 270 juta, maka diperlukan 270.000 dokter. Sementara, jumlah dokter yang bekerja hanya berkisar 110.000 orang. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN