Desa Batur Utara mengembangkan Alpukat Hass. (BP/Istimewa)

BANGLI, BALIPOST.com – Desa Batur Utara berupaya menggali potensi untuk menambah pendapatan asli desa, salah satunya dengan mengembangkan kebun alpukat. Adapun alpukat yang dikembangkan berjenis Alpukat Hass.

Perbekel Desa Batur Utara I Wayan Tinggal mengungkapkan pengembangan alpukat mulai dilakukan beberapa tahun terakhir lewat badan usaha milik desa (BUMDes). Pengembangan alpukat dilatarbelakangi adanya keinginan desa untuk mendulang pendapatan asli desa, sehingga tidak hanya bergantung pada bantuan dana dari pemerintah.

Untuk saat ini pengembangan Alpukat Hass sudah dilakukan Bumdes Desa Batur Utara di beberapa lokasi yang tersebar di tiga kabupaten yakni di Kintamani Bangli, Karangasem dan Badung. “Baru 1-3 pohon yang sudah berbuah. Mulai tahun depan baru menghasilkan,” ujarnya.

Baca juga:  Tim Pencari Fakta Tragedi Kanjuruhan Dibentuk, Diketuai Menkopolhukam

Dikatakan bahwa alpukat yang ditanam tergolong super food. Harganya beda dengan alpukat jenis biasa mencapai Rp 250 ribu per kilogram di pasar swalayan. “Target pasarnya memang khusus swalayan,” ujarnya.

Untuk kelancaran pemasarannya, Tinggal mengatakan pihaknya sudah menjalin komunikasi dengan beberapa perusahaan. Pengembangan alpukat ini dimulai sejak 2021.

Tinggal menjelaskan ada dua pola yang diterapkan. Pola pertama, yakni sewa pohon. Pola itu perpaduan antara nyakap dan ngontrak. Dalam pola tersebut Bumdes memanfaatkan lahan milik warga dan membayar sewa sejumlah pohon yang ditanam. Pembayaran sewa tidak dilakukan di awal, melainkan setelah pohon mulai menghasilkan. “Misalnya dari satu hektar lahan, ditanami 400 pohon alpukat. Bumdes bayar sewa per pohon yang ditanam. Pembayarannya mulai dari tahun ke empat sampai batas akhir tahun kontrak,” ungkapnya.

Baca juga:  Hektaran Sawah di Subak Budeng Kekeringan 

Pemilik hanya menyediakan lahannya saja. Pengelolaan lahan dilakukan BUMDes. Dengan pola ini, BUMDes tidak harus mengeluarkan biaya besar di awal. “Kalau dengan ngontrak di awal kita dimintai uang sejumlah kesepakatan. Kalau dengan sewa pohon, kita baru mulai bayar sewa di tahun ke empat, setelah menghasilkan. Nanti kalau sudah berakhir masa kontrak, semua tanaman di lahan itu menjadi milik pemilik lahan,” terangnya.

Sementara pola kedua yang mulai diterapkan tahun ini, dilakukan dengan kerjasama. Jelas Tinggal, secara umum terdapat lima komponen pokok dalam pertanian. Yakni lahan, bibit, saprodi, tenaga kerja, dan pemasaran.

Baca juga:  Tilem Kedasa, Puncak Pujawali di Pura Kawitan Kayuselem Gwa Song Digelar

Dalam pola kedua ini, bumdes hanya menyediakan bibit. Sementara untuk lahan, saprodi, tenaga kerja, dan pemasaran disediakan oleh beberapa pihak yang diajak bekerjasama. “Jadi kalau pemilik lahan hanya mampu menyediakan lahan, tidak mengerjakan, nanti kalau berhasil hanya dapat 30 persen. Demikian juga siapa yang menanam memelihara dan menanggung biaya tenaga kerjanya, dihitung dapat 15 persen. Yang mampu menyediakan pupuk, obat dan sarana lainnya dihargai 20 persen. Demikian juga yang memasarkan,” bebernya.

Dengan dua pola tersebut, dikatakan ada banyak warga pemilik lahan yang tertarik melakukan kerja aama. (Dayu Swasrina/balipost)

BAGIKAN